RIZAL Malik cukup kaget menemukan banyak fakta baru saat menelusuri sejarah ibunya, Nurbaiti, saat bersiap menulis buku biografi. Mantan Chief Executive Officer WWF-Indonesia ini mendapati gambar rumah dan sejarah kampung ibunya di Supayang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, tercatat di salah satu perpustakaan di Leiden, Belanda.
Kakek moyangnya ternyata pernah diwawancarai seorang penulis untuk sebuah majalah di Prancis. “Kami tidak menyangka ternyata keluarga kami sudah menjadi bagian dari sejarah global,” kata Rizal, Senin, 9 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama ini Rizal dan keluarga lebih mengenal ibunya sebagai pendidik yang aktif menyuarakan pendapat. Ia berniat menuliskan biografi ibunya pada 2018, tepat pada momen ulang tahun ke-100 almarhumah. Namun rencana itu gagal karena berbagai hal.
Pandemi Covid-19 pada 2020 kemudian membuat Rizal, yang baru pensiun, punya waktu lebih banyak untuk merealisasi niat itu. Ia pun mengkoordinasi 10 kakak-adiknya untuk menelusuri kembali sejarah sang ibu lengkap dengan konteksnya. Buku berjudul Emak sebanyak 1.000 eksemplar kemudian lahir pada Mei 2024.
Rizal antusias menceritakan kisahnya menelusuri fakta tentang ibunya. Dari informasi awal, ia merekonstruksi perjalanan ibunya saat pertama kali datang ke Jakarta dari Sumatera Barat melalui jalur darat selama delapan hari. Ia menyusuri jejak kedua orang tuanya, yang sama-sama berprofesi guru, yang berpindah-pindah di tanah Jawa. Ketika tulisan awalnya dirilis di Facebook, warga Supayang yang berada di berbagai daerah di Indonesia ikut membantunya mendiskusikan validasi foto yang didapatkan dari perpustakaan di Leiden.
Sebelum menulis Emak, Rizal pernah meminta seseorang menuliskan kisah ayahnya. Buku berjudul Abdul Malik Goba itu diterbitkan sendiri pada 2013 dan diedarkan di kalangan keluarga. Namun dia menilai buku tersebut tidak memiliki informasi yang mendalam.
Karena itu, untuk buku terbarunya, Rizal memilih turun tangan langsung. “Kalau saya hanya menulis dari sudut pandang anak, pasti kisahnya hanya tiga bab. Namun saya menggalinya dengan menambahkan konteks sejarah di masa itu,” tuturnya.
Dari penelusurannya, selain hal baik, ada hal buruk yang ditemukan. Rizal antara lain menemukan bahwa di tanah pusaka keluarga ibunya berdiri pohon emas yang menandakan keluarga mereka cukup makmur. Namun ternyata di sebelahnya terdapat tengkorak, yang kerap dihubungkan dengan adanya praktik ilmu hitam.
Ia tak terlalu risau akan risiko citranya terpengaruh oleh buku biografi itu. “Kami melakukan investigasi yang tahan peluru. Biarkan orang lain berkomentar,” ucap Rizal.
***
ANDI Aida Nurhaida juga membuat buku tentang ayah dan ibunya. Buku berjudul Andi Muhammad Thamrin Family: Biographical Novel itu akan dirilis pada Januari 2025. Penerbitan buku nonfiksi ini direncanakan sejak 2022. Niat perempuan yang biasa disapa Ida ini untuk menyelesaikan buku itu makin menggebu setelah ibunya meninggal pada 2023. “Pokoknya buku ini harus jadi,” katanya.
Ida, yang merupakan pengusaha dan akademikus, menggali informasi tentang kedua orang tuanya dari sanak saudaranya. Ia mewawancarai om dan tantenya. Ia bahkan harus menggali kenangan mereka dari masa 40-50 tahun silam. “Ini salah satu bentuk kami menghargai perjuangan orang tua,” ujarnya, Senin, 9 Desember 2024.
Ida mencatat bagaimana ayahnya yang merupakan orang Makassar dan ibunya yang berasal dari Sumatera Utara bisa bertemu. Padahal saat itu transportasi sangat sulit. Ia pun menelusuri kehidupan kedua orang tuanya dari masa kecil, remaja, hingga ketika sang ayah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada 1982-1992. “Saya juga menuliskan bagaimana ibu saya, yang seorang ibu rumah tangga, terus mendukung suaminya,” tutur Ida.
Ayah Ida lahir pada 1940, sementara sang ibu lahir pada 1945. Saat itu adalah masa transisi kemerdekaan. Dari risetnya, ia mendapati kedua orang tuanya mengalami masa sulit saat baru menikah.
Dari proyek bukunya pula ia baru mengetahui kakeknya dari pihak ayah ternyata seorang saudagar dari Makassar yang berlayar ke Jepang, Australia, hingga kawasan Arab demi menafkahi keluarga. “Terbayang tidak bagaimana susahnya orang dulu pergi ke luar negeri dengan berlayar berbulan-bulan? Kakek saya pernah melakukannya di zaman itu,” kata Ida.
Ida dan keluarganya merasa terbantu dengan adanya skema penerbitan sendiri atau self-publishing. Walau memiliki koneksi ke distribusi percetakan besar, ia memilih menerbitkannya di percetakan independen. “Aku cetak 50 eksemplar saja karena memang hanya dibagikan khusus kepada keluarga,” ucapnya.
***
USAHA menulis buku tentang orang tua juga dilakukan Nuria Soeharto. Dosen yang juga wiraswasta ini menuliskan kisah ibunya pada 2017. Buku itu terbit pada hari ulang tahun Nuria yang ke-50. Alih-alih membeli hadiah untuk diri sendiri, ia mempersembahkan buku berjudul Ibu: Tawa dan Tumpuanku tersebut kepada sang ibu yang mengalami demensia. “Aku cium ibuku saat itu. Yet for me, that is the best birthday ever,” kata Nuria dengan suara bergetar haru, Ahad, 8 Desember 2024.
Tahun 2017 adalah salah satu tahun yang sangat diingat Nuria. Kala itu ia memutuskan kembali ke Indonesia dan merawat ibunya yang sakit demensia setelah 12 tahun bersekolah dan bekerja di Eropa. Saat merawat ibunya, ia banyak menuliskan pengalamannya dalam catatan di Facebook.
Ia menuliskan pengalamannya merawat ibunya itu untuk melepas stres dan rasa jenuh. Harapannya, kisah ibunya itu bisa menjadi referensi bagi para perawat orang sakit atau caregiver yang senasib dengannya. Setelah mendapat dorongan teman-temannya, tulisan digital itu akhirnya dibukukan. Buku pertama Nuria itu dicetak sebanyak 2.000 eksemplar, 650 di antaranya dibeli oleh tim Kick Andy.
Ia cukup produktif menulis dan kini sudah menghasilkan delapan buku. Selain menulis tentang ibunya, Nuria pernah membukukan kisah orang terdekat lain, yaitu mantan suaminya. Ia bercerita tentang lika-liku perjalanan hidupnya ketika menikah dengan seorang warga negara asal Swedia dalam buku nonfiksi berjudul Menjadi Eriksson.
Dari pengalamannya, Nuria merasa cukup sulit menulis tentang orang-orang terdekat. “Emosinya naik-turun. Itu tantangan paling banyak,” ujarnya. Baik ketika menulis tentang ibunya maupun soal mantan suaminya, Nuria terkadang merasa marah, kesal, bahkan sedih.
Untuk penerbitan, Nuria pernah bekerja sama dengan orang penerbit yang menangani percetakan, pemasaran, pencantuman International Standard Book Number hingga distribusinya. Ia juga pernah menjalankan skema self-publishing. Kini ia memilih sistem cetak putus. “Jadi kalau ada yang mau beli, kami cetak lagi,” tutur Nuria, yang juga menyediakan versi buku elektronik atau e-book untuk karyanya.
***
MENULIS kisah nonfiksi seperti biografi anggota keluarga atau orang terdekat memiliki beberapa risiko. A. Ruhyat, anggota tim administrasi komunitas menulis Nulis Aja Dulu, mengatakan ia sebenarnya cukup sering menyarankan awak komunitasnya menulis cerita fiksi saja. Ide awalnya bisa berasal dari sosok orang terdekat, termasuk orang tua. Namun, bila menuliskan kisah itu dalam fiksi dan akhirnya menjadi novel, penulis akan lebih nyaman bercerita.
Ketika penulis menceritakan biografi salah satu anggota keluarganya, pembaca menjadi tahu berbagai rahasia keluarga. Hal itu kemudian bisa berdampak pada citra penulis dan keluarganya. “Bila gambaran orang tua ditulis dalam bentuk fiksi, biarkan pembaca yang akan menilai, apakah itu gambaran orang tua asli atau tidak,” kata Ruhyat.
Pendiri penerbit Epigraf, Daniel Mahendra, sependapat dengan Ruhyat. Dia pun biasanya memberikan opsi kepada para penulis buku nonfiksi yang bercerita tentang keluarga untuk mengubahnya menjadi fiksi. “Kalau dijadikan nonfiksi, dia akan bertanggung jawab atas nama keluarga. Kalau fiksi, aman. Saat bercerita soal keluarga, biarkan pembaca dengan interpretasinya,” ucapnya.
Ada penulis yang kemudian menerima masukan Daniel, ada pula yang berkukuh menjadikan bukunya nonfiksi. Di Epigraf, porsi buku nonfiksi yang diterbitkan baru sekitar 30 persen dari keseluruhan. “Memang saat ini lebih banyak yang menulis kisah fiksi, tapi kisah nonfiksi soal keluarga terus meningkat juga,” tutur Daniel.
Para anggota keluarga penulis buku biografi tampaknya sudah menyadari buku biografi bisa mempengaruhi citra mereka. Nuria Soeharto, misalnya, tidak terlalu risau akan hal itu. Dia berpandangan bahwa siapa pun yang sudah mengenalnya dengan baik pasti mengetahui kehidupannya dan keluarganya.
Nuria berharap bukunya bisa bermanfaat. Ia ingin pembaca bisa mendapatkan pelajaran dari bukunya, tentang hubungan dengan orang tua yang mengalami demensia atau soal pernikahan dan perceraian. “Karena gue yakin gue enggak sendirian,” katanya.
Andi Aida Nurhaida juga tak terlalu khawatir akan dampak negatif bukunya terhadap citra keluarganya karena ia memilih tak mengedarkannya untuk masyarakat umum. Ia hanya ingin cerita tentang orang tuanya itu bisa menjadi kenangan serta pelajaran bagi anak-cucu. “Sehingga mereka lebih mengapresiasi kerja keras dan usaha yang dilakukan leluhur mereka,” ujarnya.
***
PEGIAT literasi Maman Suherman tidak heran bila makin banyak orang menuliskan cerita tentang keluarga sendiri baik dalam bentuk fiksi maupun nonfiksi seperti biografi. Salah satu pendorongnya adalah banyaknya buku keluarga yang difilmkan.
Maman juga pernah menulis tentang sosok ayahnya dalam beberapa cerita pendek yang dibukukan pada 2017 berjudul Bapakku Indonesia. Kumpulan cerpen yang menggambarkan ayahnya itu bahkan dibuat menjadi film dokumenter oleh beberapa mahasiswa.
Tepat pada peringatan Hari Pahlawan tahun ini, 10 November 2024, pria yang biasa disapa Kang Maman ini merilis buku berjudul Dan Janda Itu Ibuku yang juga berkisah tentang anggota keluarganya. “Buku terbaru ini memang fiksi, tapi ceritanya terinspirasi ibu saya yang menjanda di usia muda sambil harus merawat lima anaknya sekaligus,” ucapnya.
Ia menyambut baik banyaknya warga umum yang mau menulis dan menelurkan karya. Bagi dia, hal ini bak vitamin bagi dunia literasi. “Dengan terlalu banyaknya pajak, masih ada yang menulis, itu fenomena luar biasa,” katanya.
Maman menyarankan mereka melakukan riset yang mendalam ketika menulis tentang biografi atau sejarah keluarga. Dia menjelaskan, riset sangat penting agar cerita orang-orang itu tervalidasi serta menghindari glorifikasi. “Jadi angkat nilai yang tokoh ini punyai. Saya saja sebelum menulis buku fiksi soal ibu saya mewawancarai minimal 50 orang tua tunggal,” tuturnya.
Gol A Gong, penulis yang menjadi Duta Baca Nasional 2021-2025, adalah salah seorang yang giat mendorong masyarakat menulis kisah inspiratif orang sekitar, termasuk anggota keluarga. Ia sudah menggaungkan itu saat menjadi Ketua Umum Forum Taman Bacaan Masyarakat Indonesia pada 2015-2020. Setiap kali mengajar di berbagai daerah, ia mengajak dan melatih warga setempat menulis kreatif, dimulai dengan menulis tentang tokoh yang mereka anggap berdampak di tingkat keluarga ataupun desa.
Dari perspektif literasi, Gol A Gong mengatakan buku yang dilahirkan masyarakat biasa, termasuk buku biografi akar rumput, bisa mengurangi ketimpangan antara jumlah buku yang tersedia dan tingkat keterbacaannya. Menurut acuan dari Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), setiap satu orang seharusnya bisa membaca tiga buku baru dalam setahun. Sedangkan di Indonesia terdapat ketimpangan rasio jumlah penduduk dengan koleksi buku di perpustakaan umum. Saat ini satu judul buku harus ditunggu 90 orang.
Untuk menjaga kualitas buku biografi yang ditulis masyarakat umum, ia berharap ada lebih banyak kelas dari para pakar literasi atau penulis. Ia juga menyerukan sikap positif akademikus Indonesia. “Jangan bilang karya penulis biasa itu sampah, bikin patah hati penulis. Seharusnya para penulis ini diopeni agar menumbuhkan rasa percaya diri mereka,” ujar Gol A Gong.
***
AHLI sejarah Indonesia, Asvi Warman Adam, mengatakan boleh-boleh saja menulis sejarah keluarga atau biografi keluarga. Namun, ketika penulisan buku tidak menggunakan metode penelitian sejarah, kegiatan itu hanya bisa dianggap sebagai hobi. “Perlu ada dokumen historis dan valid bila bicara sejarah,” katanya.
Banyak rambu yang harus diperhatikan dalam penulisan kisah tentang sejarah. Misalnya penulis harus mampu tetap kritis terhadap sumber dan mewaspadai hoaks. “Pemilihan sumber sejarah pun perlu dilihat apakah ia bisa dipercaya atau tidak,” ucap Asvi.
Dengan hanya berdasarkan wawancara anggota keluarga, bukti sejarah yang disajikan kurang kuat. Menurut Asvi, meminta orang bercerita tentang kejadian yang berlangsung 40-50 tahun lalu bisa sangat riskan. Bisa saja narasumber melebih-lebihkan perannya atau mengurangi kesalahannya saat bercerita. Keterangan seperti itu bisa menjadi jebakan bagi penulis yang kurang awas dan berbahaya bila ditelan mentah-mentah.