Travel

Tradisi Masyarakat Bali Mengenang Gugurnya I Gusti Ngurah Rai dalam Perang Puputan Margarana

2
×

Tradisi Masyarakat Bali Mengenang Gugurnya I Gusti Ngurah Rai dalam Perang Puputan Margarana

Share this article


TEMPO.CO, Jakarta – Memperingati hari gugurnya tokoh pejuang kemerdekaan asal Bali, I Gusti Ngurah Rai pada 20 November 1946, terdapat sejumlah penghormatan yang dilakukan rutin oleh masyarakat untuk mengenang semangat patriotisme dan jasa-jasanya dalam perjuangan melawan penjajahan.

Setiap tahunnya, warga mengunjungi museum monumen nasional di Taman Pujaan Bangsa Margarana, Tabanan, Bali. Taman makam pahlawan tersebut sebelumnya telah menjadi saksi bisu gugurnya 1.372 anggota pasukan Ciung Wanara dari tentara Netherlands Indies Civil Administration (NICA) saat mempertahankan kemerdekaan dalam perang puputan.

Guna mengenang semangat patriotisme Ngurah Rai dan para pahlawan bangsa, masyarakat biasanya datang untuk menabur bunga. Selain itu, warga Desa Kelaci, Kabupaten Tabanan, rutin menggelar ritual adat dalam rangkaian peringatan pertempuran 20 November 1946 yang dikenal dengan perang Puputan Margarana. 

Selain itu, mereka juga menggelar upacara penyucian kawasan dan arwah para pahlawan di Taman ini. Warga Desa Kelaci, bakal mempersiapkan sesajen untuk ritual adat saat peringatan berlansung. Prosesi ini menjadi tradisi menahun, dimana mereka akan berkumpul, bergotong royong seperti halnya kegiatan upacara adat di Pura.

Dipimpin para pemuka agama Hindu, upacara adat tersebut diawali dengan persiapan sesajen, persembahyangan bersama untuk memohon kelancaran kegiatan dan upacara penyucian bagi arwah-arwah pahlawan yang gugur di medan perang melawan penjajah. Dengan menggelar dua upacara, yakni upacara adat dan upacara nasional itu mereka meyakini terciptanya harmonisasi sesuai ajaran agama Hindu.

I Gusti Ngurah Rai. wikipedia.org

Dikutrip dari laman Kemdikbud, I Gusti Ngurah Rai, lahir di Desa Carangsari, Kabupaten Badung, Bali pada 30 Januari 1917. Dia menempuh pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Denpasar (1926-1933), dan kemudian melanjutkan pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Malang, namun hanya sampai kelas dua karena putus sekolah setelah ayahnya wafat. 

Ngurah Rai lalu mengikuti pendidikan calon perwira, Officer’s Opleiding Corps Prayoda, di Gianyar  selama empat tahun pada 1936, dan diangkat sebagai komandan seksi di tangsi Prayoda Denpasar. Pada 1941, ia mengikuti pendidikan khusus Lucthdeel Artelerie di Magelang, lalu ditugaskan menjadi perwira penghubung pertahanan Belanda untuk Jawa – Bali. Akibat serangan Jepang terhadap Bali pada 1942, ia pindah ke Jawa Tengah.

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Ngurah Rai bekerja sebagai agen Mitsui Bussan Kaisha (MBK) untuk Bali dan Lombok. Bersama dengan kawan-kawan lama dari Prayoda, ia melakukan gerakan bawah tanah. Beberapa kawannya, seperti I Gusti Putu Wisnu dan I Gusti Wayan Debes, bergabung dengan PETA di Bali, sehingga memperluas jaringan pergerakan mereka.

Seiring berjalannya waktu, Ngurah Rai terus berkontribusi dalam upaya perlawanan, sebab itu ia kemudian ditetapkan sebagai Komandan Tentara Republik Indonesia (TRI) Sunda Kecil oleh Kepala Staf Umum Jenderal Oerip Soemohardjo. Pangkatnya dinaikan dari Mayor menjadi Letnan Kolonel. Resimen ini di bawah Divisi VII Suropati yang berkedudukan di Malang. Ia juga diangkat menjadi ketua Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia (DPRI) yang membawahi semua kekuatan sosial politik dalam masyarakat dan laskar-laskar rakyat.

Ngurah Rai terus mengadakan perlawanan bawah tanah, hingga revolusi fisik di Bali memasuki babak ketiga, pasukan Ciung Wanara di bawah pimpinan Ngurah Rai mengalami kekalahan dalam perang di Margarana pada 20 November 1946.

Dalam pertempuran ini, Ngurah Rai beserta anak buahnya seperi Mayor Wisnu, Mayor Debes, Mayor Sugianyar dan Letnan Dwindaa beserta semua pasukannya gugur dalam medan laga. Jumlah korban sekitar 96 orang yang gugur.



Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *