TEMPO.CO, Jakarta – Kecanduan bermain game atau gaming disorder telah menjadi salah satu masalah kesehatan mental yang diakui secara resmi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak 2018.
Kondisi ini ditandai dengan pola perilaku bermain game yang persisten, bahkan ketika aktivitas tersebut memberikan dampak negatif terhadap kehidupan pribadi, sosial, maupun kesehatan seseorang. Fenomena ini semakin menjadi perhatian, terutama dengan berkembangnya teknologi dan meningkatnya durasi penggunaan perangkat digital, terutama selama pandemi COVID-19.
Kisah Nyata yang Menggambarkan Parahnya Kecanduan Game
Dilansir dari ChannelNewsAsia, kisah seorang gadis 12 tahun di Singapura menunjukkan bagaimana kecanduan game dapat berdampak buruk pada kesehatan mental dan kehidupan sosial. Gadis tersebut menghabiskan waktu hingga 10 jam per hari bermain game Genshin Impact.
Akibatnya, ia menjadi terisolasi dari dunia nyata, berhenti bersekolah, dan bahkan menunjukkan perilaku melukai diri sendiri. Perilaku ekstremnya memuncak ketika ia mencuri uang sebesar SGD 1.700 dari kartu kredit ibunya untuk membeli item dalam game.
Ketika keluarga menyadari bahwa kecanduannya telah mengarah pada depresi, mereka membawa gadis itu ke psikiater untuk mendapatkan penanganan. Kisah ini menunjukkan betapa pentingnya deteksi dini dan peran keluarga dalam menangani kecanduan game, yang sering kali diabaikan atau dianggap sebagai fase sementara dalam perkembangan anak.
Kapan Bermain Game Menjadi Kecanduan?
Tidak semua kebiasaan bermain game dapat dikategorikan sebagai kecanduan. Psikolog dan terapis menjelaskan bahwa seseorang dapat dikatakan mengalami gaming disorder jika:
- Bermain game menjadi prioritas utama di atas aktivitas lain.
- Tidak mampu mengontrol atau mengurangi durasi bermain meskipun menghadapi konsekuensi negatif.
- Perilaku ini berlangsung secara konsisten selama setidaknya 12 bulan.
Berbeda dengan pecinta game yang mampu menyeimbangkan waktu bermain dengan tanggung jawab lain, individu yang kecanduan akan terus bermain meski merugikan kesehatan fisik dan mental mereka. Misalnya, mereka mungkin mengabaikan kebutuhan dasar seperti makan dan tidur, kehilangan hubungan sosial, atau mengalami penurunan prestasi akademik.
Faktor Pemicu dan Dampak Psikologis
Kecanduan game sering kali tidak berdiri sendiri. Banyak ahli menemukan bahwa kecanduan ini terkait dengan kondisi lain, seperti depresi, kecemasan sosial, atau trauma. Dalam beberapa kasus, game menjadi pelarian dari tekanan atau perasaan tidak mampu menghadapi tantangan di dunia nyata.
Menurut laporan, remaja dan dewasa muda yang kecanduan game kerap merasa kesepian, terisolasi, atau mengalami penurunan harga diri. Mereka cenderung mencari pengakuan atau validasi dari teman-teman daring, yang bisa memperparah ketergantungan mereka pada game. Beberapa bahkan menunjukkan perilaku impulsif, seperti menghabiskan uang untuk fitur-fitur dalam game yang memberikan kepuasan instan.
Keluarga memainkan peran kunci dalam mendukung pemulihan individu yang kecanduan game. Selain dukungan emosional, pemahaman bahwa kecanduan ini merupakan kondisi serius, bukan sekadar kurangnya disiplin, adalah langkah awal untuk menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pemulihan.
Pendekatan berbasis edukasi juga penting. Banyak sekolah kini memiliki program kesadaran dunia digital untuk membimbing siswa dalam mengembangkan kebiasaan bermain yang sehat dan menghindari risiko kecanduan.
Jika tidak ditangani dengan serius, kecanduan bermain game dapat menimbulkan dampak jangka panjang, termasuk masalah kesehatan mental yang lebih serius seperti depresi kronis, gangguan kecemasan, atau bahkan perilaku bunuh diri. Karena itu, penting untuk mengenali tanda-tanda awal dan mencari bantuan profesional.