Berita

Standar Hidup Layak versi BPS

3
×

Standar Hidup Layak versi BPS

Share this article


DI dunia ini, kata Benjamin Disraeli, ada tiga jenis kebohongan: bohong, bohong besar, dan statistik. Ucapan Perdana Menteri Inggris periode 1874-1880 itu dikutip Darrell Huff dalam bukunya yang terkenal, How to Lie with Statistics, yang terbit pada 1954. Kini, Badan Pusat Statistik mencoba bermain-main dengan angka untuk menghasilkan statistik yang menipu ketika merilis hasil surveiĀ standar hidup layak di Indonesia pada 2024.

Menurut BPS, standar hidup layak di Indonesia pada 2024 sebesar Rp 12,34 juta per tahun atau Rp 1,02 juta per bulan. Patokan itu memperhitungkan pengeluaran untuk makanan dan non-makanan. Jakarta menjadi provinsi dengan pengeluaran riil tertinggi pada 2024, yakni sebesar Rp 1,66 juta per bulan per kapita.

Standar hidup layak versi BPS itu jauh dari kondisi riil yang dialami masyarakat. Patokan hidup layak semestinya menghitung beberapa komponen lain, bukan hanya kebutuhan makanan pokok. Komponen lain itu di antaranya biaya pendidikan, akses pada kesehatan, serta pemenuhan makanan yang bernutrisi. Sebab, definisi hidup layak bukan semata-mata jumlah uang yang dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan, melainkan juga kondisi yang memungkinkan seseorang meningkatkan kualitas hidupnya lewat pendidikan dan kesehatan yang bermutu.

Cara BPS menghitung patokan hidup layak mesti dibaca sebagai upaya untuk memoles burik di wajah pemerintah. Mereka membuat standar yang begitu rendah agar secara statistik penduduk miskin tampak makin sedikit, semua anak bisa menikmati pendidikan, dan akses kesehatan mudah dijangkau.

Dalam standar terbaru Bank Dunia yang dirilis tahun lalu, seseorang masuk kategori kelompok miskin ekstrem jika pengeluarannya US$ 2,15 per hari atau Rp 999.750 per bulan bila memakai kurs Rp 15.500 per dolar Amerika Serikat. Dengan begitu, mereka yang menghabiskan uang Rp 1,02 juta per bulan terhindar dari kategori miskin ekstrem.

Berbagai data membuktikan kepalsuan klaim pemerintah tersebut. Survei Sosial Ekonomi Nasional pada Maret 2024 menunjukkan jumlah penduduk miskin masih sekitar 25 juta orang. Kementerian Pendidikan pun mencatat jumlah siswa yang putus sekolah mencapai lebih dari 4 juta anak. Di sektor kesehatan, hampir 30 persen responden dalam Survei Kesehatan Indonesia yang dibuat Kementerian Kesehatan pada 2023 menyatakan kesulitan mengakses layanan pusat kesehatan masyarakat.

Selain itu, dari perspektif ketenagakerjaan, data standar hidup layak yang tak akurat bisa merugikan buruh. Pada akhir Oktober 2024, Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan buruh terhadap Undang-Undang Cipta Kerja. Putusan Mahkamah Konstitusi memuat perubahan penting soal pengupahan.

Dengan keluarnya putusan tersebut, pemerintah harus mengikuti prinsip standar hidup layak untuk menghitung upah minimum regional. Angka patokan hidup layak yang rendah seperti hasil survei BPS akan dipakai sebagai argumen pengusaha untuk menekan upah pekerja seminimal mungkin. Dengan begitu, kesejahteraan buruh tak akan meningkat.

Ke depan, pengeluaran riil masyarakat pun akan makin jauh dari standar hidup layak versi BPS. Belanja riil masyarakat dipastikan akan lebih besar karena kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen resmi berlaku mulai 1 Januari 2025. PerubahanĀ PPN tersebut otomatis menaikkan ongkos produksi dan konsumsi masyarakat yang memicu kenaikan harga-harga bahan kebutuhan pokok.

Memakai statistik untuk mengelabui merupakan praktik lancung yang sudah lama terjadi, seperti yang dinyatakan oleh Benjamin Disraeli. Angka-angka diolah sedemikian rupa untuk menghasilkan kesimpulan dan perspektif yang keliru. Ketidaksinkronan data standar hidup layak dan kondisi riil di masyarakat ini sungguh berbahaya karena berdampak pada kebijakan dan program pemerintah yang berpeluang salah sasaran gara-gara data yang menyesatkan.



Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *