Gaya Hidup

Sering Jadi Pemicu Pria Bunuh Diri, Apa Itu Toxic Masculinity?

3
×

Sering Jadi Pemicu Pria Bunuh Diri, Apa Itu Toxic Masculinity?

Share this article


TEMPO.CO, Jakarta – Dosen Fakultas Psikologi UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Iyulen Pebry Zuanny, menyatakan konsep toxic masculinity menjadi salah satu faktor yang memicu dorongan bunuh diri pada laki-laki. Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan, toxic masculinity memperbesar risiko perilaku bunuh diri karena mendorong laki-laki untuk menyimpan masalah mereka sendiri.

Toxic masculinity menciptakan stigma dan konstruksi sosial yang mengharuskan laki-laki tampil superior, tangguh, dan tidak bergantung pada orang lain sehingga membuat mereka enggan mencari bantuan, baik dari keluarga, teman, maupun profesional. Ketika kontrol diri lemah, laki-laki rentan mengalihkan tekanan tersebut ke tindakan negatif seperti penyalahgunaan narkotika atau bahkan bunuh diri,” kata Iyulen, Sabtu, 30 November 2024.

Iyulen menjelaskan akibat toxic masculinity, laki-laki lebih jarang mengekspresikan emosi dibanding perempuan sehingga gejala stres atau depresi sulit dideteksi. “Perempuan biasanya lebih ekspresif dan menunjukkan gejala seperti stres dan depresi sebelum melakukan bunuh diri. Tapi lelaki cenderung lebih sulit diamati gejalanya,” paparnya.

Tekanan budaya patriarki
Tak hanya itu, faktor lain yang memperparah kondisi ini adalah budaya patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai figur kuat dan tidak boleh menunjukkan kelemahan, termasuk emosi negatif. “Stigma sosial ini membuat laki-laki superior, kuat, tegar dan tidak boleh menangis atau terlihat lemah dan akhirnya membuat mereka enggan berbagi masalah,” ujarnya.

Selain itu, tekanan ekonomi dan pekerjaan tinggi, ketidakmatangan emosional, memicu perilaku impulsif serta pengaruh narkotika menjadi faktor lain yang dapat mendorong laki-laki pada tindakan bunuh diri. Iyulen juga menegaskan faktor yang mempengaruhi kecenderungan bunuh diri dapat berbeda pada setiap orang. Perlu asesmen dan pemeriksaan secara individual untuk memahami kondisi spesifik seseorang dan memberikan penanganan yang tepat.

“Perilaku orang dengan kecenderungan bunuh diri (OKBD) pada setiap orang bisa berbeda-beda sehingga harus dilakukan asesmen dan pemeriksaan secara individual,” tandasnya.



Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *