TEMPO.CO, Jakarta – Metode hitung cepat atau quick count telah menjadi elemen penting dalam proses pemilu di berbagai negara, termasuk Indonesia. Teknik ini menawarkan gambaran awal hasil pemilu dengan cepat dan cukup akurat, bahkan sebelum penghitungan resmi diumumkan oleh otoritas pemilu. Namun, seperti apa sebenarnya asal usul metode ini?
Quick count pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat pada pertengahan abad ke-20. Kemajuan dalam metode statistik menjadi landasan utama pengembangan teknik ini, memungkinkan data dari sampel kecil mencerminkan hasil secara keseluruhan. Pada pemilu presiden tahun 1964, Amerika Serikat secara resmi menggunakan quick count untuk memprediksi hasil pemungutan suara. Akurasi yang ditunjukkan saat itu membuat metode ini mendapatkan apresiasi luas dan menjadi salah satu standar dalam pemantauan pemilu modern.
Di Indonesia, quick count mulai dikenal pada era reformasi, meskipun penerapannya telah dirintis sejak Pemilu 1997. Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menjadi pionir dalam mengadopsi teknik ini. Pada pemilu 1997, LP3ES mengadakan hitung cepat untuk wilayah Jakarta. Namun, penyebarannya masih terbatas karena kendala teknis dan situasi politik saat itu.
Momentum besar quick count di Indonesia terjadi pada Pemilu 1999, yang merupakan pemilu pertama setelah era reformasi. LP3ES berkolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk National Democratic Institute for International Affairs (NDI), Metro TV, Yayasan TIFA, dan sejumlah donatur, untuk memperluas cakupan hitung cepat.
Pada Pemilu Presiden 2004, LP3ES kembali menunjukkan perannya dengan melaksanakan survei untuk memprediksi hasil pemilihan presiden. Mereka memperkirakan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai kandidat terkuat. Prediksi tersebut terbukti tepat, dengan SBY memenangkan pemilu putaran pertama dengan 33,57 persen suara dan mengamankan kemenangan pada putaran kedua dengan 60,62 persen suara.
Metode quick count atau hitung cepat dilakukan oleh lembaga survei atau kelompok masyarakat sipil dengan memilih sejumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) secara acak sebagai sampel. Pemilihan sampel ini dirancang sedemikian rupa agar mencakup berbagai jenis wilayah, baik perkotaan maupun perdesaan, serta daerah-daerah yang dianggap mampu mencerminkan pola suara pemilih secara keseluruhan.
Setelah TPS sampel dipilih, petugas quick count akan bertugas untuk mengumpulkan data suara dari lokasi-lokasi tersebut. Data yang dihimpun meliputi jumlah suara yang diperoleh oleh setiap kandidat, jumlah suara sah, dan terkadang data lainnya seperti suara tidak sah atau tingkat partisipasi pemilih.
Data mentah yang telah terkumpul dari berbagai TPS sampel kemudian diolah menggunakan metode statistik. Proses analisis ini bertujuan untuk memperkirakan hasil pemilu secara keseluruhan. Melalui penghitungan persentase suara yang diperoleh masing-masing kandidat, lembaga survei dapat memproyeksikan siapa yang berpotensi menjadi pemenang.
Langkah terakhir adalah penyampaian hasil quick count kepada publik. Biasanya, lembaga survei akan mempublikasikan hasilnya dalam bentuk perkiraan persentase suara yang didapat oleh setiap kandidat, lengkap dengan proyeksi pemenangnya. Informasi ini sering kali disiarkan melalui media massa dan konferensi pers.
MICHELLE GABRIELA | KHUMAR MAHENDRA | YOLANDA AGNE
Pilihan editor: Ridwan Kamil: Strategi Jika Dua Putaran dan Kilas Balik Pencalonan Bersama Suswono