TEMPO.CO, Jakarta – Harga tiket pesawat dinilai terlalu mahal, sehingga pemerintahan Presiden Jokowi membentuk Satgas Penurunan Harga Tiket Pesawat. Belum berhasil menurunkan harga tiket, pemerintahan berganti ke Presiden Prabowo.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan Satuan Tugas (Satgas) Penurunan Harga Tiket Pesawat akan tetap ada alias tidak dibubarkan, meski pimpinan satgas saat pembentukan, yakni Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, sudah tidak ada lagi.
Airlangga juga menyatakan bahwa satgas melanjutkan program terdahulu, begitu juga dengan Dana Abadi Pariwisata, yang akan terus dibahas bersama Kementerian Keuangan.
“Terkait dengan Satgas itu akan terus berlanjut, terutama terkait dengan tarif penerbangan domestik. Tentu akan dirapatkan dengan Kementerian terkait yang masuk dalam Satgas, yaitu Kementerian Perhubungan juga Pertamina,” kata Airlangga di Jakarta, Minggu, 3 November 2024.
Airlangga mengatakan, akan membahas penurunan harga tiket pesawat domestik dengan Kementerian Perhubungan, salah satu upaya mendorong pariwisata di Indonesia.
“Ini tentu akan dibahas dengan Kementerian Perhubungan dan juga dengan Pertamina,” ujar Airlangga.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengungkapkan Satgas penurunan harga tiket pesawat penting untuk kemudahan dan nilai ekonomi bagi masyarakat. Menurut dia, jika perekonomian di daerah ingin lebih maju dan tumbuh maka biaya transportasi harus semakin efisien.
AHY juga mengatakan, bahwa biaya transportasi yang terlampau tinggi dapat berpengaruh bukan hanya pada mobilitas, namun, juga produktivitas.
Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi mengatakan, bahwa dia masih menunggu arahan dari Kemenko Perekonomian mengenai hasil pembahasan satgas penurunan harga tiket pesawat.
Dia berharap hasil pembahasan satgas penurunan harga tiket pesawat tersebut bisa didapatkan sebelum Natal dan Tahun Baru. “Saya berharap sebelum Natal dan Tahun Baru ini kita sudah bisa mendapatkan hasil dari satgas tersebut,” kata Dudy dalam konferensi pers di Jakarta, 30 Oktober 2024.
Pemerintahan era Joko Widodo membentuk Satgas Tiket Pesawat pada Juli 2024. Satgas tersebut terdiri dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian), Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), serta kementerian dan lembaga terkait lainnya.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) 2019-2024, Sandiaga Uno, mengatakan Satgas dibentuk untuk mengambil langkah terobosan dalam mengevaluasi harga tiket pesawat. Di antaranya, soal biaya avtur, biaya suku cadang, perizinan, PPn, hingga pajak penumpang.
Saat itu, Sandiaga bahkan menargetkan harga tiket pesawat bisa turun 10 persen sebelum masa jabatan Jokowi habis pada 20 Oktober 2024.
“Kalau semuanya bisa kita lakukan yang quick win, yang cepat perkiraan dua-tiga bulan dan sebelum Oktober, sebelum akhir pemerintahan (Jokowi), bisa (turun harga tiket pesawat)” ujar Sandiaga kepada wartawan di Kemenparekraf, 22 Juli 2024.
Namun, target itu belum terealisasi hingga kekuasaan beralih ke pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Sandiaga memasang target baru, yakni harga tiket pesawat turun pada semester pertama 2025. Meskipun, kata dia, harganya kemungkinan tidak kembali sama seperti sebelum pandemi Covid-19.
“Kami terus melakukan koordinasi setiap bulan untuk bisa melakukan berbagai upaya dari sisi kewenangan kementerian masing-masing,” kata Sandiaga melalui jawaban tertulis yang diterima Tempo, 29 September 2024.
Berikutnya: Penyebab Harga Tiket Mahal Menurut KPPU
Penyebab Harga Tiket Mahal Menurut KPPU
Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Budi Joyo Santoso mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan tingginya harga tiket pesat di Indonesia. Faktor-faktor tersebut adalah mahalnya harga bahan bakar pesawat (avtur), distribusi avtur yang masih tertutup atau dimonopoli, komponen pajak, dan perilaku pelaku usaha.
Budi berujar saat ini KPPU telah melakukan berbagai upaya untuk menurunkan harga tiket pesawat tersebut. Di antaranya adalah menyampaikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah.
Adapun saran tersebut berupa meminta pemerintah mengevaluasi terhadap adanya konstansa yang dibentuk dengan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 17 K/10/MEM/2019. Menurut KPPU, konstansa sebesar Rp3.581/liter tersebut, sudah terdapat beberapa komponen yang sudah tidak relevan, misalnya penggunaan acuan harga terjauh bagi pengangkutan dan penyimpanan.
Terkait distribusi, ada Peraturan BPH MIGAS No. 13/P/BPH Migas/IV/2008 tentang Pengaturan dan Pengawasan atas Pelaksanaan Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak Penerbangan di Bandar Udara mengarah pada monopoli oleh Pertamina. Karena itu, pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke pasar jika tidak bekerja sama dengan Pertamina. KPPU menilai, jika membiarkan avtur dikelola oleh pelaku usaha lain, itu akan dapat menurunkan harga bahan bakar tersebut.
“Dengan avtur sebagai pembentuk sekitar 40 persen dari harga tiket, maka membuka pasar avtur akan dapat menurunkan harga bahan bakar tersebut,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, 21 September 2024.
Selanjutnya, komponen yang membuat harga tiket pesawat mahal adalah biaya pemeliharan pesawat yang mencapai sekitar 15 persen dari harga tiket. Pasalnya, komponen pesawat saat ini masih didatangkan dari luar negeri, sehingga dikenakan bea masuk. Menurut Budi, menurunkan harga komponen juga bisa menjadi solusi yang harus ditempuh.
“Menurunkan biaya komponen juga merupakan solusi yang harus ditempuh. Untuk itu KPPU akan berkoordinasi dengan lintas lembaga untuk melihat kembali berbagai kebijakan yang mendasari pembentukan harga,” katanya.
Mahalnya harga tiket juga dapat disebabkan oleh pelaku usaha. Dalam Putusan KPPU terkait kartel tiket yang dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung, para maskapai Terlapor diwajibkan untuk melaporkan setiap perubahan kebijakannya yang berkaitan dengan persaingan kepada KPPU. Hal ini bertujuan untuk mencegah adanya perilaku anti persaingan yang dilakukan oleh maskapai.
BPH Migas Bantah Ada Monopoli Avtur
Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi atau BPH Migas, Saleh Abdurrahman, membantah adanya monopoli avtur di dalam negeri.
Ia mengatakan, BPH Migas selalu bekerja sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Persaingan Usaha No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
“Kami memperhatikan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat, transparan, dan sesuai ketentuan Undang-Undang,” kata Saleh melalui aplikasi perpesanan kepada Tempo pada 1 Oktober 2024.
Saleh mengatakan BPH Migas memiliki peraturan yang membuka akses pasar bagi pelaku usaha lain yang memenuhi persyaratan dalam penyediaan avtur. Regulasi ini tertuang dalam Peraturan BPH Migas Nomor 13/P/BPH Migas/IV/2008.
Menurut dia, peraturan itu menyediakan berbagai kerja sama. “Termasuk di antaranya dalam bentuk co-mingling dan penggunaan fasilitas penyimpanan bersama yang terbuka bagi semua pelaku usaha yang memenuhi syarat,” ujarnya.
Karena itu, Saleh menyebut pasar avtur di Indonesia sudah bersifat terbuka dan multiprovider. Pertamina, kata dia, juga bukan satu-satunya badan usaha yang memiliki izin usaha niaga produk avtur. “Ada PT AKR Corporindo Tbk, PT Dirgantara Petroindo (AKR-BP) dan PT Fajar Putra Indo,” katanya.
Riri Rahayu | M. Rizki Yusrial berkontribusi dalam penulisan artkel ini.
Pilihan Editor Tom Lembong Akan Praperadilankan Kejaksaan Agung, Ini Kata Kuasa Hukumnya