Dunia

Sandiwara Abdul Muluk dalam Versi Kini

5
×

Sandiwara Abdul Muluk dalam Versi Kini

Share this article


SANDIWARA So Balik Duo yang dipentaskan di Taman Budaya Jambi, Sabtu pekan lalu, 23 November 2024, bukanlah Romeo dan Juliet versi Jambi. Juliet Shakespeare mengakhiri hidupnya setelah tahu Romeo tak lagi bernyawa. Padahal itu hanya mati suri yang direncanakan. Romeo menyusul sang kekasih begitu ia sadar dan mendapati Juliet tak lagi bernyawa.

Sama-sama kisah tragis, tokoh wanita dalam So Balik Duo bukan hanya mencintai seorang pria. Melati—demikian nama putri raja ini—mencintai dua pria. Dan inilah sumber tragedi itu.

Di arena teater yang berakustik jernih, kisah pun mengalir. Para pemeran yang berakting secara wajar dengan dialog yang lancar mampu menghibur penonton karena menyiarkan lelucon yang sebenarnya. Misalnya ada dialog dua pemain yang ingin memviralkan pertemuan rahasia antara Melati dan Tantan. Tapi itu berbahaya, jadi seru lawan bicaranya. “Kita bisa dipecat.” Segera teman itu menukas, “Tenanglah, kita pakai akun palsu.”

Mungkin sandiwara ini terutama menyajikan hiburan. Melati, yang terombang-ambing antara hasrat hati dan hukum adat, tak menampilkan konflik batin. Ia begitu saja menerima cincin pusaka dari Tantan ketika mau pulang dari kuliah di negeri seberang. Sedangkan Tantan masih harus tinggal. Padahal simbol serah-terima yang dibawa tanpa saksi keluarga masing-masing adalah pelanggaran hukum adat.

Pelakon Abdul Muluk Reborn mementaskan naskah So Balik Duo karya Zidan dan Suwandi Wendy di Teater Arena Taman Budaya Jambi, 23 November 2024. ANTARA/Wahdi Septiawan

Lalu, Melati mau begitu saja menerima pertunangannya dengan Kumbang, anak datuk kerajaan. Meski Melati jatuh cinta kepada Kumbang, Tantan, yang tak pulang kampung, tetap ada di hatinya. Melati pun menerima tantangan Tantan yang sudah balik dari seberang tanpa ada dialog ini dan itu—tantangan kawin lari, tindakan yang termasuk melanggar hukum adat. Sebagai putri raja, tentu Melati paham hukum adat ini.

Klimaks sandiwara ini adalah pelaksanaannya silat bubong. Inilah duel untuk mempertahankan pelanggaran hukum adat. Sejalan dengan cerita bahwa Melati sungguh-sungguh mencintai kedua lelaki yang berduel itu, dan agar tak menimbulkan pertanyaan panjang, pertarungan antara Tantan dan Kumbang berlangsung  seri: keduanya tewas tertusuk pedang lawan.

Sandiwara ini diproduksi oleh kelompok Abdul Muluk Reborn. Salah satu pendirinya, Zaidan, bertahun-tahun mementaskan sandiwara Dulmuluk, yang merupakan alih wahana dari syair Abdul Muluk karya Raja Ali Haji hampir 180 tahun silam, ke bentuk teater. Selain alasan mementaskan syair Raja Ali Haji memerlukan waktu yang panjang, Zaidan akhirnya merasakan bahwa sandiwara Abdul Muluk bisa dicintai penonton karena tak sesuai dengan zaman. 

Pada tahun 2005, ia pun membuat terobosan dengan mendirikan Abdul Muluk Reborn. Pementasannya tetap berstruktur sandiwara Abdul Muluk dari masa lalu: latar belakang kerajaan, kostum tradisional, dialek lokal, musik, tari, para pemain dengan improvisasi atau sesuai dengan naskah, berbalas pantun, serta tak ketinggalan peran Kadan dan Labu yang bertugas mengocok perut penonton.

Zaidan—mungkin dibantu anggota kelompok—menulis naskah baru. Sudah banyak naskah yang mereka tulis, seperti Demam Bunga di Tengah Korona, Lubuk Larangan, Dukun Gadungan, dan Putri Mercury .
Salah satu pendorong penulisan naskah adalah peluang yang diberikan oleh TVRI Jambi. Satu pekan sekali, sejak setahun terakhir, Abdul Muluk Reborn mengisi program sandiwara stasiun televisi tersebut. 

Pelakon Abdul Muluk Reborn mementaskan naskah So Balik Duo karya Zidan dan Suwandi Wendy di Teater Arena Taman Budaya Jambi, 23 November 2024. ANTARA/Wahdi Septiawan

Tak adakah grup sejenis yang lain? “Setahu saya belum ada di Kota Jambi seperti Abdul Muluk Reborn,” kata Eri Argawan, Ketua Taman Budaya Jambi. “Di kabupaten memang ada, tapi masih mengikuti yang tradisional.” Dan mengikuti yang tradisional bukan berarti mementaskan semua naskah syair Raja Ali Haji. Iis Wulandari, mahasiswi Program Studi Teater di Institut Seni Indonesia Padangpanjang yang sedang meneliti sandiwara Abdul Muluk, berujar, “Mementaskan Syair Abdul Muluk bisa berhari-hari.” Maka, biasanya pementasan itu hanya berupa fragmen sekitar dua jam.

Dulu, alih wahana dari syair Abdul Muluk berupa pembacaan syair tersebut. Lama-lama, interpretasi dikembangkan menjadi sandiwara. Membubarkan komidi bangsawan dan komidi stambul, misalnya sandiwara Abdul Muluk sungguh bertolak dari tradisi lokal. Meski kemudian kedua jenis teater tersebut juga menyajikan naskah-naskah karya sendiri.

Sandiwara Abdul Muluk ada dalam satu atmosfer dengan lenong Betawi serta sandiwara Miss Tjitjih di Pasundan. Kekayaan budaya Indonesia yang relevan dikembangkan sesuai dengan perkembangan dunia seni-budaya Indonesia, mungkin juga budaya global.  So Balik Duo yang ditulis oleh Zaidan dan Wendy Suwandi ini, misalnya, disutradarai oleh Husni Thamrin, sutradara naskah-naskah Indonesia modern. Dan memang arena pun menjadi komunikatif. Lebih dari separuh tempat duduk terisi oleh pembeli tiket Rp 25 ribu, yang sebagian besar generasi muda. Tentu saja, selain  TVRI Jambi, Taman Budaya Jambi mempunyai andil menghidupkan dan mengembangkan sandiwara Dulmuluk.

Kita kutip pantun yang dibawakan Kadan sang komedian itu:
Jalan-jalan ke umo / Ado tomat dimakan ikan/ 
Jangan ke mano-mano / Selamat menyaksikan…
Oiiii … Penonton / 
Ikolah Abdul Muluk Reborn dengan cerito So Balik Duo… .



Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *