TEMPO.CO, Jakarta – Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar mengungkapkan bahwa dalam satu provinsi tercatat 500 kasus perceraian suami-istri akibat perbedaan pilihan politik.
Nasaruddin menilai, kasus tersebut menjadi indikasi rapuhnya sebuah perkawinan yang dapat berpisah hanya karena perbedaan pilihan politik dalam pemilihan umum atau pemilu.
“Perceraian karena politik juga besar. Ada satu provinsi, terjadi 500 perceraian gara-gara politik. Suaminya milih si A, istrinya milih si B, cerai. Begitu rapuhnya sebuah perkawinan,” ujar Nasaruddin dikutip dalam laman resmi Kementerian Agama, Rabu, 20 November 2024.
Penyebab lain angka perceraian tinggi di Indonesia adalah judi online. Menag mengatakan, kasus perceraian akibat judi online mencapai empat ribu.
“Sebelum marak judi online, jumlah perceraian tahun 2019 itu hanya 1000-an, tapi setelah maraknya judi online, kami dapat data kemarin itu meningkat sampai 4000-an. Sekitar 4000-an lebih perceraian karena judi online. Itu yang terdata,” kata dia.
DPR ragu temuan Kemenag
Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Dede Yusuf Macan Effendi, meragukan temuan Kementerian Agama (Kemenag) mengenai ratusan kasus perceraian dalam satu provinsi akibat pasangan suami-istri berbeda pilihan politik.
Politikus Partai Demokrat itu mengatakan, perceraian tersebut belum tentu karena ada perbedaan politik dalam pemilu, tapi mereka mempunyai persoalan lain sebelumnya.
“Menurut saya, jangan-jangan dulunya sudah selingkuh satu sama lain. Kita tidak tahu. Artinya, punya masalah sendiri yang kebetulan pas dengan adanya pemilu konflik itu menegang atau membesar,” kata Dede Yusuf di Jakarta, Kamis, 21 November 2024. “Jadi, pemilu jangan dijadikan alasan untuk segera pergi ke Kantor Urusan Agama.”
Menurut Dede Yusuf, pemilu bukan menjadi alasan utama meningkatnya angka perceraian di masyarakat.
Budaya patriarki
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) memandang banyaknya pasangan suami istri yang bercerai akibat perbedaan pilihan politik adalah dampak dari masih mengakarnya budaya patriarki pada masyarakat Indonesia.
“Seharusnya perbedaan ini tidak perlu berakibat perceraian, jika suami/pasangan bisa menghargai pilihan politik istrinya,” kata Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan KPPA Eni Widiyanti saat dihubungi di Jakarta, Jumat, 22 November 2024, dikutip dari Antara.
Menurut dia, mayoritas perempuan tidak memiliki keberanian untuk mempunyai pilihan politik yang berbeda dengan suaminya.
“Dalam budaya patriarki yang masih sangat kuat di Indonesia, mayoritas perempuan tidak memiliki keberanian untuk mempunyai pilihan politik yang berbeda dengan suaminya,” kata Eni.
Dia menuturkan, ada banyak dampak negatif perceraian terhadap tumbuh kembang anak.
“Mengingat budaya patriarki kita masih sangat kuat, ada kemungkinan angka perceraian akan semakin meningkat, yang tentu saja akan berdampak negatif pada tumbuh kembang anak-anaknya,” kata Eni.
Data Badan Pusat Statistik yang dirilis awal tahun ini, angka perceraian pada 2023 sebanyak 463.654 kasus. Angka perceraian ini turun sebesar 10,2 persen jika dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 516.344 kasus.