TEMPO.CO, Jakarta – Popularitas pramuka di Indonesia telah berlangsung lama hingga ditetapkannya Hari Pramuka Indonesia sejak 14 Agustus 1961. Bahkan, jumlah anggota organisasi kepanduan nasional yang dikenal dengan nama Gerakan Pramuka tersebut adalah yang terbesar di dunia, yaitu mencapai 25.272.760 orang pada 2022.
Perkembangan pramuka yang masif di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perjuangan para tokoh di belakangnya. Salah satu tokoh penting bagi sejarah pramuka di tanah air adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang dikukuhkan sebagai Bapak Pramuka Indonesia sekaligus Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka (1961-1974).
Profil Bapak Pramuka Indonesia
Melansir laman journal.student.uny.ac.id, Sri Sultan Hamengkubuwono IX lahir pada 12 April 1912 di kediaman Gusti Pangeran Haryo Puruboyo, Kampung Sompilan, Jalan Ngasem 13, Yogyakarta. Ibunya, R.A. Kustilah yang bergelar Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom adalah garwa padmi atau permaisuri utama Sultan Hamengkubuwono VIII.
Setelah dilahirkan, Sri Sultan diberi nama Dorojatun, dengan harapan agar di masa depan mempunyai derajat yang tinggi, mampu mengemban kedudukan yang luhur, serta berbudi pekerti yang baik meskipun memegang kekuasaan yang besar.
Sri Sultan mendapatkan pendidikan dengan cara dititipkan ke keluarga Belanda. Sekolah pertamanya adalah Frobel (taman kanak-kanak atau TK) milik Jufrow Willer. Ketika memasuki usia enam tahun, Sri Sultan mulai belajar di sekolah dasar bernama Eerste Europese Lagere School B atau Een B.
Setelah beberapa tahun menimba ilmu di Een B, Sri Sultan pindah ke Europese Lagere School di Pakem Weg atau Jalan Pakem (sekarang diberi nama Jalan Kaliurang), Yogyakarta. Selanjutnya, pada usia 13 tahun, dia meneruskan pendidikan ke Hogere Burger School di Semarang, Jawa Tengah.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX tidak hanya dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia, tetapi juga politik nasional. Dia pernah menduduki beberapa jabatan strategis di pemerintah, di antaranya Wakil Presiden ke-2 RI (1973-1978), Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi, dan Menteri Koordinator Pembangunan.
Peran Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam Gerakan Pramuka Indonesia
Gerakan Pramuka di Indonesia dimulai sejak masuknya Padvinderij atau kepanduan Belanda pada 1916. Setelah itu, perhimpunan kepanduan mulai menjamur, sehingga gagasan untuk menyatukan pandu-pandu di berbagai daerah pun timbul.
Sejak kecil, Sri Sultan telah menggemari dunia kepanduan dan mulai bergabung dengan organisasi bentukan Belanda, yaitu Nederlands-Indische Padvinders Vereniging (NIPV). Lalu pada 1960, dia telah menjadi Pandu Agung, sebutan bagi sosok yang mencerminkan sebagai seorang panutan dan guru.
Kemudian, Sri Sultan bersama rekan-rekannya memutuskan untuk mempersatukan berbagai organisasi kepanduan di seluruh Indonesia menjadi Praja Muda Karana atau Pramuka pada 1961. Setelah terbentuk, dia diangkat menjadi Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka selama empat periode berturut-turut, yaitu 1961-1963, 1963-1967, 1967-1970, dan 1970-1974.
Kepemimpinan Pertama Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Bapak Pramuka
Pada periode pertama menjabat, Sri Sultan memperbaiki tata organisasi dan administrasi serta menyelenggarakan Musyawarah Kerja Antara Andalan Pusat dan Daerah (Muker Anpuda). Sementara pada periode kedua, dia mengintensifkan pendidikan dan kursus untuk para pembina serta mengadakan Perkemahan Satya Dharma.
Pada periode ketiga, Sri Sultan Hamengkubuwono IX berusaha menjalin hubungan dengan Organisasi Gerakan Kepanduan Dunia atau World Organization of the Scout Movement (WOSM). Selanjutnya pada periode keempat, kegiatan pramuka lebih diarahkan pada pembangunan masyarakat.
Usai tak lagi menjabat sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka, Sri Sultan masih aktif dalam berbagai kegiatan yang diadakan organisasi. Dia bahkan menduduki posisi istimewa sebagai Majelis Pembimbing Nasional (Mabinas).