TEMPO.CO, Jakarta – Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan lima pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2024-2029 melalui pemungutan suara pada Kamis, 21 November 2024. Mereka adalah Setyo Budiyanto, Fitroh Rohcahyanto, Johanis Tanak, Ibnu Basuki Widodo, dan Agus Joko Pramono.
Terpilihnya kelima pimpinan KPK tersebut menuai kritik karena tidak adanya keterwakilan perempuan. Selain itu, seluruh pimpinan terpilih lembaga antirasuah tersebut berasal dari latar belakang instansi penegak hukum, tanpa keterlibatan masyarakat sipil.
Ketua IM57+ Institute–organisasi gerakan anti korupsi yang didirikan oleh para eks pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi, Lakso Anindito, merasa kecewa terhadap Komisi III DPR yang dinilai kurang berkomitmen dalam menciptakan keberagaman di kepemimpinan KPK.
Menurut dia, pimpinan KPK yang terpilih hanya mewakili institusi penegak hukum dan auditor, tanpa keterwakilan dari masyarakat sipil. Dia juga mempertanyakan komitmen DPR dalam mengembalikan marwah KPK.
Ia menilai dominasi institusi penegak hukum dalam pimpinan KPK bisa mempengaruhi objektivitas dan transparansi lembaga antirasuah ini. “Seluruh pemimpin KPK yang terpilih mewakili institusi penegak hukum dan auditor,” kata dia, Kamis, 21 November 2024.
Lakso Anindito menekankan, untuk memastikan keberhasilan pemberantasan korupsi, dibutuhkan pemimpin yang memiliki independensi dan komitmen yang tinggi terhadap transparansi serta keadilan.
Tanpa perwakilan perempuan dan masyarakat sipil, kata dia, banyak yang khawatir KPK akan kehilangan perspektif yang lebih luas dalam pemberantasan korupsi. Pemilihan pimpinan KPK ini juga menimbulkan spekulasi bahwa reformasi internal dalam tubuh KPK bisa terhambat.
Menanggapi tidak ada keterwakilan perempuan, anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil, menjelaskan tidak ada aturan yang mengharuskan keterwakilan perempuan atau latar belakang tertentu dalam pemilihan pimpinan KPK.
Menurut Nasir, komposisi pimpinan KPK sepenuhnya diserahkan pada proses seleksi oleh DPR dan pemerintah, tanpa ada mandat khusus yang mengatur tentang hal tersebut. “Jadi teman-teman dari masyarakat sipil tidak terwakili, dan memang tidak ada aturan yang mengharuskan seperti itu,” ujarnya.