KABAR pemulangan Mary Jane Veloso disampaikan oleh Presiden Filipina Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr. melalui akun Instagram @bongbongmarcos pada Rabu, 20 November 2024. Dia menyebutkan Mary Jane akan kembali ke Filipina setelah melalui upaya diplomasi dengan pemerintah Indonesia selama lebih dari satu dasawarsa. Karena itu, ia mengungkapkan rasa terima kasih kepada Presiden Prabowo Subianto dan pemerintah Indonesia.
Kabar itu seketika menyita perhatian publik. Mary Jane adalah terpidana mati kasus narkoba. Ia ditangkap di Bandar Udara Adisutjipto, Yogyakarta, pada 25 April 2010 dengan barang bukti 2,6 kilogram heroin. Pengadilan menyatakan perempuan kelahiran 10 Januari 1985 itu terbukti bersalah dan diganjar hukuman mati.
Eksekusi terhadap Mary Jane sedianya dilaksanakan pada 29 April 2015. Namun rencana itu dibatalkan karena sehari sebelumnya seorang perempuan bernama Maria Kristina Sergio menyerahkan diri kepada otoritas hukum Filipina. Perempuan ini mengaku sebagai orang yang merekrut dan menjebak Mary Jane untuk membawa heroin ke Indonesia. Atas dasar inilah pemerintah Filipina meminta eksekusi Mary Jane dibatalkan agar bisa memberikan keterangan di pengadilan.
Setelah pembatalan itu, rencana eksekusi Mary Jane tidak pernah terdengar lagi. Karena itu, publik menduga pemulangan perempuan asal Kota Cabanatuan, Filipina, ini sebagai upaya untuk membebaskannya dari hukuman.
Kepala Lapas Perempuan IIB Yogyakarta Evi Loliancy (keempat dari kiri) bersama Kepala Bidang Pembinaan Bimbingan dan TI Kemenkumham DIY Sambiyo (ketiga dari kiri) serta Kepala Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Yogyakarta Sigit Sudarmono (kedua dari kiri) menjelaskan kondisi terkini warga negara Filipina terpidana mati kasus narkotika, Mary Jane Veloso, saat jumpa pers di Lapas Perempuan IIB Yogyakarta, Gunungkidul, DI Yogyakarta, 21 November 2024. ANTARA/Andreas Fitri Atmoko
Dugaan itu dibantah oleh Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra. Menurut Yusril, Mary Jane bukan dibebaskan, melainkan dikembalikan ke negara asal melalui kebijakan transfer of prisoner (pemindahan narapidana).
Yusril menuturkan telah menerima permohonan pemindahan narapidana Mary Jane dari Menteri Kehakiman Filipina Jesus Crispin Remulla pada beberapa hari lalu. Pembahasan juga telah dilakukan bersama Duta Besar Filipina untuk Indonesia Gina A. Jamoralin di Jakarta pada 11 November 2024. “Ini telah dilaporkan kepada Presiden Prabowo yang telah menyetujui kebijakan transfer of prisoner,” kata Yusril dalam keterangan tertulis, Rabu, 20 November 2024.
Syarat yang harus dipenuhi oleh negara yang mengajukan permohonan transfer of prisoner: (1) mengakui dan menghormati putusan final pengadilan Indonesia dalam menghukum warga negaranya; (2) narapidana dikembalikan ke negara asal untuk menjalani sisa hukuman di sana sesuai dengan putusan pengadilan Indonesia; (3) biaya pemindahan dan pengamanan selama perjalanan menjadi tanggungan negara yang bersangkutan. |
Selain demi menjaga hubungan bilateral, kata Yusril, faktor lain yang menjadi pertimbangan Presiden Prabowo menyetujui transfer of prisoner adalah kemanusiaan. Ia mencontohkan, Mary Jane sudah mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIB Yogyakarta selama 14 tahun dan tinggal menunggu hukuman mati. “Tapi dia berkelakuan baik di penjara. Dia punya anak di Filipina, kalau tidak salah ada dua orang, dan terpisah dengan keluarganya sekian lama,” katanya.
Di negaranya, kata Yusril, Mary Jane akan menjalani hukuman sesuai dengan aturan yang berlaku di Filipina. Dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan pemerintah Filipina mengubah hukuman terhadap Mary Jane lantaran hukuman mati telah dihapuskan dalam undang-undang Filipina. “Langkah itu adalah kewenangan sepenuhnya dari Presiden Filipina,” kata Yusril.
Yusril menjelaskan, transfer of prisoner bersifat resiprokal. Dengan begitu, bila nanti ada warga Indonesia yang dijatuhi hukuman di negara itu, pemerintah Filipina wajib mempertimbangkan untuk mengirimkan atau memindahkannya ke Indonesia.
Pemulangan warga Indonesia yang menjadi narapidana di Filipina pernah terjadi pada 2014. Warga Indonesia itu adalah Agus Dwikarna. Dia dijatuhi hukuman 10-17 tahun penjara pada 2002 oleh pengadilan wilayah Kota Pasai, Manila, atas tuduhan memiliki bahan peledak. Namun Yusril membantah pernyataan bahwa pemulangan Mary Jane ini berhubungan dengan Agus Dwikarna. “Enggak ada itu,” ujarnya.
Kuasa hukum Mary Jane, Agus Salim, mengatakan rencana transfer of prisoner kliennya sejatinya dibicarakan sejak Juli 2024. Dia diundang oleh Yusril—saat itu belum menjabat Menko Kumham Imipas—untuk berdiskusi membahas tentang Mary Jane. “Segala hal sudah saya sampaikan, termasuk dokumen-dokumen pendukungnya,” kata Agus.
Saat itulah, kata Agus, Yusril menyampaikan peluang transfer of prisoner untuk Mary Jane. “Dia berjanji mendiskusikannya dengan Pak Jokowi,” katanya. Bila rencana itu tidak mendapat restu dari Presiden Joko Widodo, kata Agus, Yusril berjanji membawanya kepada Prabowo Subianto setelah dilantik sebagai presiden.
Guru besar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan pemulangan Mary Jane ini memiliki kerumitan hukum. Sebab, dasar hukum yang digunakan untuk menjalankan kebijakan itu tidak ada. Grasi yang diajukan Mary Jane ditolak Presiden Joko Widodo pada 2014.
Adapun untuk kebijakan transfer of prisoner, kata Hikmahanto, hingga saat ini belum ada aturan hukumnya. “Di Indonesia belum ada undang-undang pemindahan narapidana,” ujarnya pada Kamis, 21 November 2024.
Bahkan, pemerintah Indonesia pernah menjadikan ketiadaan aturan itu sebagai alasan untuk menolak permohonan pemindahan narapidana Schapelle Corby untuk menjalani sisa hukumannya di negara asalnya, Australia. Padahal kejahatan yang dituduhkan kepada Corby dan Mary Jane sama, yaitu tentang narkotika. Perbedaan perlakuan ini, kata Hikmahanto, bisa membuat negara lain menilai tidak ada konsistensi dalam kebijakan antar-pemerintahan di Indonesia.
Menurut Hikmahanto, sah-sah saja Presiden Prabowo dan Presiden Bongbong Marcos membuat kesepakatan untuk mengembalikan Mary Jane ke Filipina dalam bingkai hubungan antarnegara. “Namun tidak seharusnya kesepakatan ini melanggar hukum Indonesia,” katanya.
Pendapat serupa disampaikan pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. Dia mengatakan belum ada aturan mengenai pemindahan warga negara asing yang menjadi narapidana di Indonesia. “Undang-undangnya baru berbentuk rancangan yang diserahkan ke Badan Legislasi pada Mei 2024,” ujarnya.
Karena itu, ia menyebutkan belum ada dasar hukum yang pas dalam pemulangan Mary Jane. Kendati demikian, dalam praktiknya memang bisa digunakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana. Aturan itu salah satunya mengatur pelaksanaan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. “Tapi mungkin yang menjadi persoalan adalah Filipina tidak mengenal hukuman mati,” katanya.
Ahli hukum pidana Universitas Indonesia, Chudry Sitompul, mengatakan antara Filipina dan Indonesia tidak memiliki perjanjian ekstradisi. Dengan demikian, pemerintah Indonesia menggunakan terminologi transfer of prisoner untuk memulangkan Mary Jane. “Ini berdasarkan semata-mata diskresi pemerintah,” kata Chudry.
Konstitusi di Indonesia memang memberi peluang bagi presiden untuk memiliki diskresi. Namun diskresi itu harus dapat dipertanggungjawabkan, termasuk kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Kepala Lapas Perempuan IIB Yogyakarta Evi Loliancy menunjukkan foto kondisi terkini warga negara Filipina terpidana mati kasus narkotika, Mary Jane Veloso, saat jumpa pers di Lapas Perempuan IIB Yogyakarta, Gunungkidul, DI Yogyakarta, 21 November 2024. ANTARA/Andreas Fitri Atmoko
Di tengah polemik tentang kebijakan pemulangan Mary Jane, Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) justru mengapresiasi kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia dan Filipina. Jaringan ini beranggotakan sejumlah organisasi masyarakat sipil yang mendukung dihapuskannya pidana mati dari undang-undang RI.
Salah satu anggota jaringan ini adalah Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Peneliti ICJR Maidina Rahmawati mengatakan memang ada kekosongan hukum di Indonesia ihwal transfer of prisoner sehingga tidak ada acuan yang bisa digunakan untuk pemindahan narapidana ke negara asal. “Jadinya, Mary Jane ini masih gelap. Sebenarnya status hukumnya seperti apa, proses kerjanya seperti apa karena ini pure (murni) diplomatik,” katanya.
Dalam praktiknya, ia menjelaskan, transfer of prisoner ada yang menggunakan aturan dan ada yang mengacu pada perjanjian. Mayoritas negara-negara menggunakan perjanjian diplomatik dalam menerapkan pemindahan narapidana.
Kendati demikian, Jaringan Tolak Hukuman Mati mendorong adanya komutasi atau perubahan hukuman terhadap Mary Jane. Dengan demikian, hukuman Mary Jane bisa berubah dari pidana mati menjadi penjara seumur hidup. “Kan ada kejelasan sistem hukumnya di Filipina,” kata Maidina. “Kalau di sini, dia dihukum mati. Di sana ada padanannya, sesuai dengan sistem hukuman di Filipina.”
Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mendorong pemerintah segera mengesahkan undang-undang yang memuat aturan tentang transfer of prisoner. Dengan demikian, bila terjadi kasus serupa dengan Mary Jane, akan memudahkan pemerintah mengambil kebijakan. “Sekarang dilakukan atas dasar diskresi dan kami enggak berharap ke depan akan diskresional terus,” ucap Yosua, anggota LBHM.
Menurut Yosua, Mary Jane adalah korban tindak pidana perdagangan orang. Dia diperalat untuk membawa heroin dari Malaysia ke Indonesia. Dalam persidangan, dia mendapat perlakuan unfair trial (sidang yang tidak adil). Sebab, perempuan itu hanya bisa bahasa Tagalog, tapi penerjemah yang dihadirkan hanya menguasai bahasa Inggris. Karena itu, Yosua berharap, setelah dipulangkan ke Filipina, hukuman untuk Mary Jane dapat ditinjau ulang oleh pemerintah negara itu.