TEMPO.CO, Jakarta – Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengatakan akan segera menyelesaikan dua isu yaitu kebijakan satu peta atau one map policy dan kebijakan satu perencanaan tata ruang atau one spatial planning policy. Menurutnya, hal tersebut penting karena menyangkut pertumbuhan investasi di Indonesia sekaligus pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Nusron Wahid menyatakan bahwa isu ini harus diangkat agar negara hadir memberikan solusi kepada masyarakat, termasuk dunia usaha sebagai bagian dari rakyat, dan memastikan nasib mereka tidak dibiarkan menggantung. “Kita tuntaskan isu ini bersama terutama di kalangan pelaku usaha, kita jadikan ini sebagai komunitas bersama untuk menuntaskan berbagai persoalan yang muncul,” kata Nusron dalam keterangan resmi pada Sabtu, 9 November 2024.
Politikus Partai Golkar itu mengatakan bahwa selama one map policy tidak tersedia maka akan menghambat kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (KKPR) sebagai salah satu persyaratan dasar untuk perizinan usaha. Hal tersebut karena adanya Rencana Detail Tata Ruang atau RDTR yang menjadi bagian dari one map policy.
“Saat ini di Indonesia baru ada 541 RDTR dan yang sudah terintegrasi dengan OSS (Online Single Submission) ada 278 RDTR. Kemudian RDTR-nya harus ada 2000. Masih ada 1500-an lagi RDTR yang harus kita tuntaskan dengan menggunakan basis peta 1:5.000, sehingga mendekati keakuratan,” imbuhnya.
Selanjutnya, yang juga menjadi fokus bagi Nusron adalah one spatial planning policy. Menurutnya, selama ini sektor tata ruang masih dalam otoritas yang terpisah sehingga membuat tumpang tindih kewenangan. “Zona makronya tidak ketahuan karena masing-masing berbicara pada zona mikronya. Gagasan ini untuk menyatukan satu tata ruang supaya dalam penataan makronya akan ketahuan dan tidak menyebabkan tumpang tindih,” kata Nusron.
Nusron berujar bahwa ia menginginkan percepatan pelayanan yang tetap memprioritaskan akuntabilitas dan akurasi. Ia menekankan bahwa proses yang cepat harus tetap mempertimbangkan dampak jangka panjang, agar tidak memicu malapetaka atau bencana.
Ia juga menyoroti pengelolaan Perizinan Keserasian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR). Menurutnya, penyelesaian urusan PKKPR harus dilakukan dalam waktu yang optimal, namun tetap sesuai aturan. Ia menekankan pentingnya unsur mitigasi risiko, keakuratan, dan akuntabilitas agar proses tersebut mematuhi peraturan yang berlaku dan menjaga ekosistem yang ada.
“Intinya kita ingin pelayanannya cepat tapi tetap akuntabel, tetap akurat dalam konteks jangka panjang tidak melahirkan malapetaka apalagi menjadi bencana,” tutur Nusron.