TEMPO.CO, Jakarta – Seblak, makanan yang berasal dari Jawa Barat, telah berhasil menarik perhatian banyak orang dengan kombinasi rasa pedas dan gurih yang khas. Terbuat dari kerupuk basah yang direbus bersama aneka bumbu, ditambah ragam topping seperti macaroni, telur, serta tambahan seperti daging atau ceker ayam, seblak memiliki cita rasa yang unik dan menggugah selera.
Hidangan ini populer di kalangan pecinta makanan karena tidak hanya memanjakan lidah, tetapi juga memberikan sensasi hangat dan pedas. Tak heran jika seblak kini menjadi salah satu kuliner favorit yang banyak digemari oleh berbagai kalangan. Namun, meskipun seblak enak dan menggiurkan, terlalu banyak mengonsumsinya bisa menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan.
Anandika Pawitri, medical editor SehatQ, sebuah platform kesehatan menjelaskan bahwa ada bahaya yang perlu diwaspadai saat mengonsumsi seblak secara berlebihan. Sebab, bahan-bahan dalam seblak seperti cabai atau sambal dalam jumlah yang banyak, ditambah dengan garam, penyedap rasa, dan bumbu lainnya yang mengandung kadar sodium tinggi. Jika dikonsumsi melebihi batas konsumsi harian yang dianjurkan, bisa menyebabkan berbagai risiko.
“Kalau itu dikonsumsi berlebihan, bisa menimbulkan diare, atau dalam jangka panjang, konsumsi sodium berlebih itu bisa memicu penyakit jantung,” tutupnya. Selain itu, seporsi seblak lebih dominan mengandung karbohidrat, dan tidak memberikan kandungan serat atau protein yang seimbang untuk tubuh.
Sodium atau natrium adalah mineral penting yang diperlukan tubuh dalam jumlah kecil, yang banyak ditemukan dalam berbagai makanan, terutama dalam garam. Garam telah lama dianggap sebagai penyebab utama dari tekanan darah tinggi, yang menjadi fokus utama saat membahas masalah kesehatan terkait hipertensi, penyakit kardiovaskular, dan stroke. Meskipun demikian, lebih dari sekadar masalah tekanan darah, penelitian terbaru menunjukkan bahwa konsumsi garam yang tinggi ternyata juga dapat membahayakan otak. Pola makan yang mengandung kadar garam berlebih dapat berdampak negatif pada fungsi kognitif, yang mungkin tidak banyak disadari oleh masyarakat.
Penelitian terbaru mengungkapkan adanya hubungan antara konsumsi garam tinggi dan gangguan pada ingatan serta kemampuan berpikir. Dalam sebuah eksperimen yang dilakukan pada tikus, garam dengan kadar 8 hingga 16 kali lipat dari jumlah normal dimasukkan ke dalam makanan mereka. Hasilnya, tikus-tikus ini kesulitan membedakan benda baru dan benda yang sudah dikenal, dan juga mengalami kesulitan saat melewati labirin. Tidak hanya itu, mereka juga gagal membangun sarang, sebuah perilaku penting yang menunjukkan bagaimana otak mereka berfungsi dalam berinteraksi dengan dunia sekitarnya.
“Kami menerjemahkan tanda-tanda tersebut pada manusia untuk aktivitas kehidupan sehari-hari, dan itulah yang kita sebut sebagai gangguan kognitif atau demensia yang parah,” jelas Costantino Iadecola, MD, seorang profesor neurologi dan ilmu saraf di Weill Cornell Medical College di New York City, yang memimpin studi tersebut.
Gangguan kognitif pada manusia dapat mencakup masalah ingatan, kebingungan atau disorientasi, serta kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti berpakaian, memasak, atau membayar tagihan. Jika pola makan tinggi garam ini terus berlangsung dalam jangka panjang, efeknya bisa lebih buruk. “Kami tidak tahu apa yang akan terjadi jika Anda melakukan ini (mengonsumsi garam dengan kadar tinggi) selama 10 tahun,” ujar Costantino.
“Saran saya adalah karena aliran darah di otak akan berkurang dan menyebabkan pembuluh darah di otak tidak bekerja dengan benar, sesuatu yang besar akan terjadi jika Anda terus melakukan pola hidup seperti ini. Atur dan amati asupan garam Anda dengan bijak, karena ini bisa menjadi langkah yang sangat penting dalam mencegah kondisi seperti demensia di masa depan,” pungkasnya.
SHARISYA KUSUMA RAHMANDA | ANASTASIA PRAMUDITA DAVIES
Pilihan Editor: Dedi Mulyadi Tak Ingin Buruh Makan Siang Seblak dan Cireng