TEMPO.CO, Jakarta – Yogyakarta kerap dijuluki sebagai kota gudeg, makanan khas berbahan utama nangka muda yang dalam bahasa lokal disebut gori. Proses memasaknya melibatkan merebus potongan nangka muda bersama gula merah dan santan dengan api kecil selama berjam-jam. Uniknya, penggunaan periuk tanah liat dan tungku tradisional dipercaya mampu menghadirkan cita rasa yang lebih istimewa pada gudeg.
Dilansir dari kebudayaan.jogjakota.go.id, bumbu-bumbu yang digunakan dalam pembuatan gudeg meliputi bawang putih, bawang merah, kemiri, biji ketumbar, lengkuas, daun salam, dan daun jati. Daun jati sendiri berperan penting dalam memberikan warna merah kecokelatan yang khas pada hidangan ini. Gudeg khas Yogyakarta memiliki rasa manis yang dominan, sehingga sering dijuluki sebagai nangka rebus bercita rasa manis.
Berbeda dengan masakan Barat yang umumnya praktis dan cepat disajikan, gudeg mencerminkan tradisi memasak Jawa yang membutuhkan waktu panjang dan ketelitian. Proses memasaknya bahkan bisa memakan waktu hingga seharian penuh. Selain teknis, proses ini mengandung nilai-nilai filosofi, mencerminkan ajaran Jawa yang menekankan ketenangan, kesabaran, ketelitian, serta menghindari sikap tergesa-gesa dan ceroboh.
Gudeg telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia, terutama sebagai ikon kuliner khas Yogyakarta. Kepopulerannya menjadikan Yogyakarta sering dijuluki sebagai Kota Gudeg. Hidangan tradisional ini dibuat dari nangka muda yang direbus selama beberapa jam bersama gula kelapa dan santan.
Ditambah dengan aneka bumbu khas, gudeg memiliki rasa manis yang lezat dan sesuai dengan selera masyarakat Jawa pada umumnya.
Pada awalnya, jenis gudeg yang dikenal masyarakat, khususnya di Yogyakarta pada masa lampau, adalah gudeg basah. Namun, seiring waktu dan meningkatnya kebutuhan gudeg sebagai oleh-oleh, lahirlah inovasi berupa gudeg kering sekitar enam dekade yang lalu.
Karakteristik gudeg kering yang lebih tahan lama menjadikannya pilihan populer sebagai oleh-oleh khas Yogyakarta, yang kemudian turut mendorong berkembangnya industri rumahan yang memproduksi gudeg untuk kebutuhan wisatawan.
Gudeg Jogja, kuliner khas dari Kota Pelajar, memiliki sejarah yang unik. Hidangan ini pertama kali dibuat oleh para pekerja pada masa pembangunan Kerajaan Mataram di Alas Mentaok sekitar tahun 1500, ketika Kerajaan Mataram Islam baru berdiri di kawasan Kotagede.
Pada masa itu, banyak pohon seperti melinjo (angkil), kelapa, dan nangka muda (gori) yang ditebang karena dianggap tidak memiliki nilai ekonomi dan keberadaannya melimpah.
Melimpahnya nangka muda mendorong masyarakat setempat, termasuk para pekerja, untuk berkreasi menciptakan hidangan berbahan dasar gori. Salah satu olahan tersebut adalah sayur gori, yang dimasak dalam kuali besar selama 12 hingga 15 jam hingga teksturnya menjadi sangat empuk.
Proses memasaknya dilengkapi dengan berbagai bumbu seperti ketumbar, kemiri, lengkuas, daun salam, bawang putih, bawang merah, gula jawa, dan santan. Hasilnya adalah potongan nangka muda yang lembut, berwarna cokelat, dan memiliki rasa manis khas.
Karena dimasak dalam jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan ratusan pekerja, makanan ini diolah dengan teknik mengaduk terus-menerus menggunakan sendok kayu besar. Teknik tersebut, yang dalam bahasa Jawa disebut hangudek atau hangudeg, kemudian menginspirasi nama hidangan ini menjadi “gudeg.”
Selain memiliki proses pembuatan yang panjang, gudeg mengandung filosofi mendalam tentang pentingnya kesabaran dan rasa syukur atas pemberian Tuhan. Dahulu, sebelum gudeg banyak dijual, makanan ini sering disajikan sebagai hidangan nazar atau simbol rasa syukur, sehingga memiliki makna istimewa bagi masyarakat.