TEMPO.CO, Jakarta – Setelah rezim Bashar al Assad di Suriah tumbang, kerabat-kerabat para korban yang tewas akibat penganiayaan aparat berharap agar hukum bisa menyeret para pelaku ke pengadilan.
Mereka mengenali para korban lewat foto-foto yang diambil oleh seorang pembocor informasi bernama sandi “Caesar”, seorang perwira militer yang bertugas mendokumentasikan jenazah selama perang saudara melanda negara itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Foto-foto itu, yang diduga mengabadikan gambar dari sekitar 11.000 korban berusia 20 hingga 40 tahun, menunjukkan adanya penyiksaan sistematis dan perlakuan tidak manusiawi yang dilakukan oleh rezim Assad.
Yasmin Mashaan, salah satu pendiri Caesar Families Association, mengatakan kepada Anadolu soal pengaruh foto-foto itu dalam proses hukum dan bagi keluarga korban.
Menurut Mashaan, anggota asosiasi tersebut telah mengenali kerabat mereka melalui foto-foto itu. Mereka terus berusaha menemukan anggota keluarga mereka yang ditahan, disiksa, atau hilang.
“Tidak ada keluarga di Sednaya yang bisa memulangkan jasad orang-orang tercinta mereka,” kata dia, merujuk pada sebuah penjara militer yang terkenal di Suriah.
“Kami berjuang untuk mengetahui nasib mereka yang hilang.”
Mashaan, yang kini tinggal di Jerman, mengungkapkan kesedihannya saat mengenali saudara laki-lakinya dalam salah satu foto itu. Dia juga kehilangan empat saudara lainnya di Suriah.
“Bagi keluarga korban, yang terpenting adalah mengetahui momen terakhir orang-orang yang mereka cintai dan mendapatkan keadilan,” tegasnya.
“Terlepas dari besarnya kejahatan rezim, kami terus menggapai keadilan dengan penuh harapan.”
Menoreh Luka Lama
Mashaan menyoroti rasa sakit yang dialami para kerabat korban selama proses identifikasi. Dia mengatakan bahwa mereka hanya memiliki foto sebagai kenangan pada orang-orang tercinta.
“Meski ada bukti, tidak adanya upacara pemakaman atau serah terima jenazah terus menoreh luka lama,” katanya.
Menurut Mashaan, mereka bekerja sama dengan Komisi Internasional untuk Orang Hilang (ICMP) guna mengidentifikasi lokasi kuburan massal, memulihkan sisa jenazah, dan memastikan identitasnya.
Dia juga mengkritik Rusia, Cina, dan rezim Assad karena menghalangi upaya mendapatkan keadilan dengan menekan komunitas internasional.
“Kami telah memasuki masa transisi,” kata dia, seraya menekankan perlunya upaya berkelanjutan untuk membantu mantan tahanan yang dibebaskan dan keluarga mereka.
Banyak tahanan memerlukan perawatan fisik, psikologis, dan medis intensif, kata dia, sementara beberapa keluarga kehilangan harapan karena minimnya informasi tentang nasib orang-orang yang mereka cintai.
Momen Terakhir Para Korban
Meski asosiasi tidak menjalin kontak langsung dengan Caesar, mereka bekerja dengan orang-orang yang dekat dengannya, termasuk seseorang dengan nama sandi “Sami.”
“Dokumen-dokumen yang kami miliki merupakan awal yang kuat untuk meminta pertanggungjawaban dan hampir siap,” kata Mashaan.
“Kami bekerja sama dengan Mekanisme Internasional, Tidak Memihak, dan Independen (IIIM) untuk memberikan bukti dan dokumen.”
IIIM adalah organisasi PBB yang dibentuk oleh Majelis Umum PBB pada 2016.
Tugasnya membantu penyelidikan dan penuntutan terhadap orang-orang yang bertanggung jawab atas kejahatan internasional paling serius, termasuk kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida, di Suriah sejak Maret 2011.
Foto-foto yang diambil Caesar sejak Mei 2011 hingga Agustus 2013 memperlihatkan luka-luka pada jenazah, merekam penyiksaan dan pembunuhan yang dilakukan di fasilitas militer.
“Kami telah mencapai hasil nyata dengan jatuhnya rezim,” kata Mashaan.
Dia menambahkan bahwa mereka menunggu keputusan global untuk membawa kasus ini ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atau membentuk pengadilan khusus untuk Suriah.
Dia juga menyoroti pentingnya kasus yang diajukan oleh Kanada dan Belanda terhadap Suriah berdasarkan Konvensi PBB 1984 tentang Anti Penyiksaan.
“Kini kami berada di era pasca-rezim, dan semua pelaku akan dimintai pertanggungjawaban,” katanya.
Mashaan mencatat kemajuan dalam sejumlah kasus di Prancis dan Jerman, di mana beberapa pejabat senior rezim Assad telah divonis atau menghadapi perintah penangkapan.
Dia mengatakan bahwa pihaknya berkomunikasi dengan mantan-mantan tahanan yang mengenal korban untuk mengumpulkan informasi tentang momen terakhir mereka.
“Salah satu keinginan kami adalah mengetahui kata-kata terakhir mereka,” kata dia.
Penjara Mengerikan
Menurut laporan internasional, Penjara Militer Sednaya, yang terletak sekitar 30 kilometer dari ibu kota Damaskus, menjadi pusat penahanan terkenal bagi para pengunjuk rasa anti-rezim setelah pemberontakan 2011.
Laporan itu menunjukkan bahwa eksekusi massal di Sednaya antara 2011 dan 2015 menyebabkan hampir 50 orang tewas di tiang gantungan setiap satu atau dua pekan.
Disebutkan pula bahwa para tahanan sengaja ditempatkan dalam kondisi tidak manusiawi, disiksa, dan secara sistematis dirampas hak mereka untuk mendapatkan makanan, air, obat-obatan, dan perawatan medis.
Penyelidikan Amnesti Internasional pada 2017 menyimpulkan bahwa pembunuhan dan penyiksaan di Sednaya sejak 2011 adalah bagian dari serangan secara luas dan sistematis terhadap warga sipil Suriah, yang merupakan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan.
Assad, yang berkuasa di Suriah selama 24 tahun, melarikan diri ke Rusia setelah kelompok-kelompok anti-rezim mengambil alih Damaskus pada Ahad, yang mengakhiri kekuasaan Partai Baath sejak 1963.