TEMPO.CO, Jakarta – Pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia Titi Anggraini mendorong penyatuan Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) dalam satu naskah undang-undang meski putusan Mahkamah Konstitusi tidak secara eksplisit menyebutkan hal itu. Namun, kata dia, dalam banyak putusan MK, Mahkamah tidak lagi membedakan antara norma pemilu dan pilkada.
Titi mengatakan dasar penyatuan itu merujuk pada Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 dan Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022 meski tidak disebutkan secara gamblang. Karena tidak membedakan antara norma pemilu dan pilkada, kata dia, untuk koherensi dan harmonisasi serta sinkronisasi pengaturan, sudah semestinya pemilu dan pilkada diatur dalam satu naskah undang-undang yang sama, yaitu UU Pemilu.
“Khususnya karena Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022 tidak lagi membedakan rezim pilkada dan pemilu, MK menegaskan bahwa pilkada adalah pemilu,” kata dosen Fakultas Hukum UI itu pada Jumat, 22 November 2024.
Pegiat kepemiluan ini menuturkan penegasan tentang urgensi kodifikasi juga secara eksplisit disampaikan Wakil Ketua MK Saldi Isra saat persidangan Perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 di MK pada 30 Oktober 2024. MK sudah secara eksplisit menyatakan tidak ada perbedaan rezim antara pemilu dan pilkada, sehingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI harus menyatukannya dalam satu undang-undang.
Penataan aturan, kata Saldi, juga diperlukan karena beberapa putusan MK telah mengamanatkan untuk melakukan perbaikan atau perubahan di dalam undang-undang atau yang sering disebut sebagai judicial order (perintah pengadilan).
Saldi juga berharap semua yang berkaitan dengan pengaturan pemilu sudah selesai dibahas DPR sebelum tahapan dimulai.
“Disebutkan pula mengapa itu penting? Karena setelah tahapan dimulai, hal-hal yang prinsipiel semestinya tidak lagi diutak-atik, baik oleh DPR maupun MK, misalnya soal persyaratan dan sebagainya,” ujarnya.
Sebelumnya, pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan pemerintah, telah menyiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu), yang menyatukan UU Pemilu dan UU Pilkada.
Salah satu pertimbangan dalam draf RUU Pemilu pemutakhiran pada 26 November 2020 adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu perlu disatukan, disederhanakan, dan disesuaikan dengan perkembangan demokrasi dan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal itu sesuai dengan pertimbangan Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019, alternatif keempat: “Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, pemilihan gubernur, dan bupati/wali kota.”
ANTARA
Pilihan editor: KIPP Anggap Dukungan Prabowo di Pilkada 2024 Jadi Preseden Buruk