TEMPO.CO, Jakarta – Dosen hukum pidana Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, menilai kasus polisi tembak siswa SMK di Semarang menunjukkan adanya kelemahan serius dalam pengaturan dan pengawasan penggunaan senjata api oleh aparat. Menurut Suparji, regulasi yang ada saat ini tidak hanya usang, tapi juga kurang komprehensif dalam mencegah penyalahgunaan.
“Yang salah bukan senjatanya, tapi orangnya. Pengawasan dan perizinan harus ketat supaya tidak ada lagi kasus seperti ini,” ujar Suparji kepada Tempo, Kamis, 28 November 2024.
Suparji menjelaskan, regulasi penggunaan senjata api, termasuk yang diatur dalam peraturan kapolri (Perkap), perlu diperbarui dan disesuaikan dengan perkembangan teknologi, tuntutan peradaban, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia. Ia menilai lemahnya pengawasan dalam proses perizinan dan penggunaan senjata api menjadi celah utama yang dimanfaatkan hingga terjadi pelanggaran.
Selain itu, dia juga menggarisbawahi prinsip proporsionalitas dan akuntabilitas yang belum diterapkan secara optimal dalam pengawasan senjata api. “Harus transparan, presisi, dan tegas dalam pemberian izin maupun pengawasan. Sanksinya juga harus memberikan efek jera,” katanya.
Menurut Suparji, efek jera yang diharapkan dari sanksi hukum dalam kasus seperti ini masih jauh dari tercapai, “Buktinya, kasus seperti ini terus berulang. Kalau ada efek jera, tentu tidak akan terjadi lagi.”
Ia pun memaparkan tiga faktor utama yang memicu terjadinya pelanggaran dalam penggunaan senjata api. Pertama, regulasi yang tidak lengkap dan belum mampu memprediksi risiko ke depan. Kedua, pengawasan terhadap sumber daya manusia (SDM) aparat yang dinilai belum efektif. Ketiga, budaya arogansi dan merasa hebat yang masih melekat di kalangan aparat hingga terjadi penyalahgunaan wewenang.
Maka dari itu, Suparji mendesak agar regulasi diperbaiki secara komprehensif dengan fokus pada pencegahan dan edukasi. “Regulasi harus implementatif, memiliki kemampuan prediksi, dan mampu memberikan koreksi terhadap penyimpangan,” tutur dia.
Kasus penembakan oleh aparat yang melibatkan siswa SMK di Semarang menjadi pengingat pentingnya revisi regulasi senjata api. Suparji mengingatkan, tanpa reformasi yang menyeluruh, praktik serupa akan terus terulang dan mencoreng institusi penegak hukum.
Penembakan siswa SMK oleh personel Polrestabes Semarang, Aipda Robig Zaenudin, terjadi pada Minggu, 24 November 2024. Korban tewas dalam insiden ini adalah GRO (17), siswa kelas IX Teknik Mesin di SMK Negeri 4 Semarang.
Menurut keterangan resmi Polrestabes Semarang, peluru mengenai pinggul korban. GRO sempat dilarikan ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat dr. Kariadi Semarang untuk mendapatkan perawatan. Namun, nyawanya tidak dapat diselamatkan. Jenazah korban dimakamkan pada Ahad sore di Sragen, Jawa Tengah.
Selain GRO, dua remaja lain turut menjadi korban penembakan, tetapi keduanya berhasil selamat meski mengalami luka. Dalam konferensi pers, polisi menunjukkan sejumlah senjata tajam, seperti golok dan celurit, yang diduga digunakan para remaja itu untuk tawuran.
Polrestabes Semarang telah memeriksa 12 saksi pada peristiwa tersebut, sebagian besar masih berusia remaja. Dari hasil pemeriksaan, satu orang, yakni MPL (20), ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tawuran tersebut.