TEMPO.CO, Jakarta – Mendidik anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan kemampuan dan keterampilan khusus yang tidak sama dengan mendidik anak – anak yang tidak memiliki kedisabilitasan. Para guru membutuhkan energi yang lebih besar, mengajar anak berkebutuhan khusus memberikan asupan bagi mental dan psikologis guru pengajar.
Salah satunya pengalaman mengharukan Novi Indriastuti (27 tahun) guru pengajar anak dengan disabilitas netra di Sekolah Luar Biasa Negeri Banjarnegara, Jawa Tengah. Menurut Novi, anak dengan disabilitas yang dididiknya mayoritas memiliki sifat hangat dan ramah. Meski Novi kerap kali tidak mengerti keinginan anak didiknya lantaran keterbatasan komunikasi dan akses.
“Satu saat ada anak didik saya yang mengetahui saya sakit saat mengajar, dia langsung memeluk saya dan mengatakan saya ingin membacakan Al Fatihah untuk Bu Novi. Tindakan anak ini sangat membantu mental saya yang sedang sakit, setelah itu saya merasa sangat nyaman,” kata Novi, saat diwawancarai tempo, Senin 25 November 2024.
Kendati banyak mengalami tantangan seperti harus bersabar saat anak tantrum dan tak mampu mengkomunikasikan keinginannya. Novi selalu merasa dapat tambahan semangat justru setelah seharian mengajar mereka. Apalagi saat Novi mampu mengenali dan mewujudkan keinginan anak didiknya yang ditandai dengan reaksi alamiah seperti euphoria tertawa atau memeluk.
“Kebanyakan anak – anak dengan disabilitas intelektual suka sekali mengekspresikan rasa cinta mereka kepada guru, mereka suka memeluk sambil tertawa dan mengucapkan terima kasih berkali-kali,” kata guru pendidikan khusus yang saat ini sedang menempuh pendidikan Master of Special Education di Murdoch University di Australia ini.
Sementara itu, guru anak berkebutuhan khusus dari SMA 98 Jakarta Timur, Eni Nurachimah (59 tahun) punya cerita yang tak kalah heroik. Selain harus mampu membaca keinginan anak, Eni sering kali berperan sebagai pengasuh. Guru yang sebelumnya mengajar Bahasa Inggris ini kerap menangani siswa berkebutuhan khusus yang buang air sembarangan. Padahal, siswa didik Eni sudah berusia remaja menjelang dewasa.
“Selain harus sabar dan ikhlas, Saya awalnya tidak dapat menghadapi anak yang buang air sembarangan ini, tapi lama -lama hal ini bukan masalah buat saya,” kata Eni.
Guru yang sudah mengabdikan dirinya selama 33 tahun di SMA 98 ini punya cara jitu agar siswa berkebutuhan khusus di sekolahnya dapat kooperatif untuk dididik. Salah satunya dengan menjaga konsistensi.
“Anak -anak dengan disabilitas intelektual memiliki keistimewaan pada segala sesuatu yang sifatnya konsisten atau berulang, jadi kalau berubah mereka protes, tapi jika dilakukan dengan ritme yang teratur dan mereka suka, mereka lebih komitmen dari murid yang tidak berkebutuhan khusus,” kata Eni.
Sama halnya dengan Novi, Eni mengaku mendapatkan asupan energi usai menangani siswa berkebutuhan khusus di sekolah. Apalagi jika murid – muridnya menurut dan tidak tantrum sama sekali dalam sehari. Pasalnya, bila sudah tantrum, beberapa siswa berkebutuhan khusus akan bersifat agresif dan menyerang.
“Sudah biasa itu bila ada kaca jendela kelas yang pecah karena dilempar sepatu oleh siswa berkebutuhan khusus yang tantrum,” kata Eni.
Kejadian berbalik serratus delapan puluh derajat ketika siswa berkebutuhan khusus ini diajak belajar di luar kelas. Menurut Eni, siswa berkebutuhan khusus memang dianjurkan untuk 60 persen belajar di luar kelas.
“Rasanya bahagia banget melihat mereka tertawa. Saat bahagia, anak – anak ini tertawanya lepas banget, dan kalau mereka sudah nurut pada satu guru, mereka bercerita apa saja, akhirnya jadi jarang tantrum,” kata Eni.
Eni dan Novi adalah dua guru dari ratusan guru pendamping anak berkebutuhan khusus yang mengabdikan diri mereka untuk siswa dengan kemampuan komunikasi, kognitif, dan sensorik yang berbeda. Banyak energi dan emosi para guru pendamping khusus yang tersita. Namun mereka tidak mengeluh. Kendati demikian Indonesia masih memerlukan banyak guru seperti Eni dan Novi. Selamat Hari Guru.
Pilihan Editor: 5 Sosok Guru yang Diakui Sebagai Pahlawan Nasional