TEMPO.CO, Jakarta – Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri, kembali absen dari panggilan pemeriksaan penyidik Polda Metro Jaya yang dijadwalkan pada Kamis, 28 November 2024. Ketidakhadiran ini menambah daftar absennya Firli dalam pemeriksaan terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Ade Safri Simanjuntak, menyampaikan bahwa Firli, melalui kuasa hukumnya, telah menyerahkan surat keterangan tidak bisa hadir kepada Polda Metro Jaya.
Namun, Ade tidak menjelaskan alasan di balik ketidakhadiran tersebut, hanya menyebutkan bahwa tim penyidik akan mengadakan konsolidasi untuk menindaklanjuti situasi ini. “Untuk menentukan langkah-langkah tindak lanjut dalam rangka penyidikan,” ujarnya.
Kuasa Hukum Jamin Firli Bahuri Tidak Melarikan Diri
Kuasa hukum Firli Bahuri, Ian Iskandar, yakin bahwa pihak kepolisian tidak akan melakukan penjemputan paksa atau penahanan terhadap Firli terkait dugaan tindak pidana korupsi, meskipun Firli berulang kali absen dari pemeriksaan.
Ian menyatakan bahwa kliennya telah bersikap kooperatif selama proses penyelidikan. Menurutnya, Firli tidak memenuhi kriteria subjektif yang memungkinkan tindakan penjemputan paksa atau penahanan. “Apakah Pak Firli akan melarikan diri? Tentu tidak,” kata dia kepada awak media di Ambhara Hotel, Jakarta Selatan pada Kamis, 28 November 2024.
Ian juga percaya bahwa Firli tidak akan berusaha menghilangkan barang bukti maupun mengulangi perbuatannya. “Nah syarat subjektif ini sudah kami sampaikan kepada penyidik, dan mereka sudah memahami bahwa hal tersebut tidak akan pernah dilakukan oleh Pak Firli,” ucap Ian.
IM57+ Institute: sudah saatnya Polda Metro jemput paksa
Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, menyatakan bahwa absennya Firli Bahuri dari pemeriksaan kali ini seharusnya menjadi sinyal bagi Kepolisian untuk segera mengambil langkah penjemputan paksa.
Menurut Lakso, sikap Firli yang tidak kooperatif terhadap penyidik menciptakan drama yang terus berlarut di hadapan publik. Ia mendesak Kepolisian untuk menunjukkan keseriusannya dengan segera mengambil tindakan konkret.
“Firli adalah percontoan bagaimana penanganan kasus yang melibatkan penegak hukum dilakukan,” kata Lakso dalam keterangannya pada Rabu, 28 November 2024.
Lakso juga menekankan bahwa penanganan kasus Firli memiliki potensi memberikan efek jera bagi aparat penegak hukum, khususnya di lingkungan KPK. “Sudah cukup retorika, dan ini saatnya pembuktian,” ujar Lakso.
Selain itu, ia menyoroti bahwa kasus ini bukan hanya tanggung jawab Polda Metro Jaya, melainkan juga menjadi tanggung jawab Kapolri sebagai pemimpin tertinggi dalam institusi Kepolisian. Terlebih lagi, kasus Firli dikategorikan sebagai kasus tingkat tinggi yang melibatkan berbagai pihak dan kepentingan strategis.
Usman Hamid: Hukum jelas sangat tumpul
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai absennya Firli Bahuri dari sejumlah pemeriksaan dalam kasus dugaan korupsi menunjukkan adanya kemunduran independensi lembaga penegak hukum.
Usman menjelaskan bahwa kasus ini mencerminkan adanya perlakuan yang tidak adil dalam proses penegakan hukum. Selain itu, ia menilai kasus tersebut mengungkap adanya tarik-menarik kepentingan politik yang memengaruhi penegakan hukum. Hal ini, menurutnya, semakin memperlihatkan hilangnya independensi, terutama di tubuh KPK dan Polri.
“Keduanya kini terseret dan tersandera oleh tarik menarik kepentingan politik,” kata Usman kepada Tempo melalui aplikasi perpesanan, Kamis, 28 November 2024.
Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kata Usman, sudah bukan KPK yang dulu lagi. Dalam langkah-langkahnya, sering kali penegak hukum merugikan kepentingan rakyat. “Hukum jelas sangat tumpul,” ujarnya.
SUKMA KANTHI NURANI | DEDE LENI MARDIANTI