Pertanyaan yang kemudian muncul, perlukah seorang aktor resah dan peduli pada situasi politik maupun kondisi negara? Jika pertanyaan itu disajikan kepada Fedi Nuril, maka jawabnya ya dan harus. Baginya, seniman termasuk aktor harus peka.
“Ya, aktor itu harus peka. Titik. Profesi aktor harus peka karena kami memainkan rasa. Ada yang bilang: Gue tidak peduli sama situasi politik atau negara. Bohong. Dia pasti merasakan. Cuma memilih untuk diam dan itu hak dia. Enggak apa-apa,” paparnya panjang.
Ada aktor yang merasakan gelagat tak beres pada kondisi negara namun memilih diam. Ada yang merasa lalu menyuarakan. Fedi Nuril tahu persis kondisi ini dan menghormati dua pilihan tersebut. Berkali ia menggarisbawahi, seniman peduli politik bukan hal baru.
“Bukan sesuatu yang baru, tapi pertanyaannya mengapa seniman cenderung peduli atau sensitif? Karena syarat menjadi aktor perlu sensitif dan itu terasa kalau ada yang enggak benar. Atau, ada kekacauan sangat terasa,” Fedi Nuril membeberkan.
“Sebelum aktor berpura-pura (jadi orang lain) dia harus jujur dengan dirinya dulu. Dia harus aware ke sekelilingnya. Baru, dia menjadi orang lain karena sudah tahu persis dirinya seperti apa situasinya, seperti apa baru dia bisa memainkan,” imbuhnya.
Soal diserang buzzer, Fedi Nuril sudah menduga mengingat banyak artis lain yang mengkritisi situasi politik lalu mengalami hal serupa. Karenanya, Fedi Nuril menyiapkan mental dan pasang kuda-kuda sebelum melontar kritik ke Pemerintah.
“Sudah diperkirakan. Saya sudah punya kuda-kuda karena melihat teman-teman yang sudah duluan vokal. Jadi kayak, punya kuda-kuda tapi enggak nyangka langsung duaaar!” Fedi Nuril menuturkan. Meski berkali digempur buzzer, ia tetap bersuara.
Fedi Nuril tidak menggembok akun Instagram dan Twitter terverifikasinya. Kolom komentar pun tak dibatasi apalagi ditutup. Fedi Nuril mempersilakan siapa saja mampir, silaturahmi, dan adu gagasan di medsos. Dihina pun, ia cuek saja.
“Salah satu keuntungan aku punya kepribadian koleris. Koleris ini, dia memang enggak gampang diledek atau dihina selama itu memang enggak (benar). Misalnya, ada yang bilang: Lo itu bab*. Yang enggak kena di saya karena saya tahu bukan bab*,” pungkasnya.