DOKTER spesialis kedokteran jiwa Jiemi Ardian resah terhadap berbagai anggapan keluarga pasiennya tentang masalah kesehatan jiwa seperti skizofrenia. Jiemi kerap mendengar bahwa keluarga pasiennya menganggap skizofrenia yang dialami anggota keluarga mereka merupakan dampak kesurupan atau kemasukan jin.
Bertolak dari keresahan itu, Jiemi mulai mengenalkan skizofrenia di media sosial lewat akun Instagram-nya, @jiemiardian. “Harapannya, akan makin banyak yang paham soal isu skizofrenia. Dulu ilmu kesehatan jiwa kan tidak sepopuler sekarang,” kata Jiemi kepada Tempo, Kamis, 7 November 2024.
Lewat media sosial, ia menjelaskan bahwa skizofrenia adalah gangguan mental berat yang dapat mempengaruhi tingkah laku, emosi, dan komunikasi. Penderita skizofrenia bisa mengalami halusinasi, delusi, kekacauan berpikir, dan perubahan perilaku.
Jiemi menuturkan, saat awal ia memberi edukasi tentang kesehatan jiwa pada 2017, banyak orang yang masih belum paham. Sebab, saat itu isu kesehatan jiwa belum begitu menjadi perhatian.
Sejak saat itu, Jiemi sangat rajin membagikan berbagai informasi tentang kesehatan jiwa di ranah digital. Selain menjelaskan skizofrenia, ia meluruskan pandangan umum masyarakat mengenai kesehatan jiwa. Ia antara lain menerangkan bahwa obat bagi pasien dengan gangguan jiwa tidak akan menyebabkan ketergantungan dan pasung bukan jalan keluar menghadapi pasien dengan gangguan jiwa. Ia juga mengangkat soal depresi yang dinilai sebagai pertanda kurang iman.
Saat ini konten edukasi Jiemi di ruang digital tidak hanya berangkat dari kisah pasien-pasiennya. Ia terkadang mengangkat isu kesehatan jiwa yang sedang banyak dibicarakan atau mengingatkan pentingnya mencintai diri demi menjaga kesehatan mental pribadi.
Selama sekitar tujuh tahun menyampaikan edukasi seputar kesehatan di media sosial, akun Instagram Jiemi sudah diikuti 312 ribu akun. Jumlah itu belum ditambah 116 ribu pelanggan atau subscriber yang memantau konten edukasinya di YouTube.
Dokter spesialis kedokteran olahraga Andhika Raspati juga rajin mengedukasi masyarakat di media sosial. Pemilik akun Instagram dengan jumlah pengikut sebanyak 194 ribu itu kerap menyampaikan edukasi dengan gaya komedi.
Misalnya saat Andhika menjelaskan kekhawatirannya atas makin banyaknya pelari yang optimistis tapi tidak realistis. Mereka adalah kelompok pelari yang bersemangat mengambil nomor lari jarak jauh seperti half marathon (21 kilometer) atau bahkan full marathon (42 kilometer), tapi tidak berlatih atau melakukan persiapan secara maksimal.
“Kalau lari dengan badan terlatih sih tidak apa-apa. Tapi, kalau tidak terlatih, badan pelari akan bekerja di luar kapasitasnya. Ibaratnya nyuruh anak PAUD (pendidikan anak usia dini) ngerjain soal CPNS (calon pegawai negeri sipil),” ujar pria yang akrab disapa Dhika itu.
Dulu Dhika lebih banyak menggunakan media sosial untuk flexing atau pamer diri. Ia kerap membagikan momen indah atau keberhasilan di akun Instagram-nya. Namun ia kemudian menyadari media sosial akan jauh lebih berfaedah jika digunakan untuk berbagi ilmu tentang kesehatan olahraga.
“Saya sebagai dokter kan punya tanggung jawab sosial membagikan ilmu dan pengetahuan kesehatan. Sayang kalau media sosial hanya dipakai untuk flexing,” ucapnya.
Dhika pun mulai membagikan berbagai hal tentang kesehatan olahraga, dari ajakan menerapkan gaya hidup sehat dengan bergerak hingga informasi tentang perawatan pascacedera. Awalnya ia menjelaskan beragam tema dengan gaya serius. Namun Dhika, yang sehari-hari suka melucu, kemudian mengubah gaya edukasinya dengan cara yang lebih santai.
Dia sering menambahkan candaan dalam konten edukasinya. Contohnya saat ia mengajak warganet memilih naik tangga agar lebih sehat dibanding menggunakan lift. “Kalau baru naik tangga saja sudah merasa berat, gimana mau naik pelaminan dan berumah tangga?” tutur Dhika, bercanda.
Dhika merasa edukasi dengan gaya melucu lebih mudah dimengerti dan diterima masyarakat umum. “Orang bisa tahan melihat konten lucu lama-lama. Dengan tambahan informasi kesehatan, orang tidak hanya terhibur dan tertawa, tapi juga bisa mendapat faedahnya,” ucap dokter yang juga menjadi anggota komunitas komika itu.
Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Jiemi Ardian/Dok. Pribadi
Cerita dokter spesialis anak Yuni Astria lain lagi. Pandemi Covid-19 menginspirasi dia untuk membuat konten di media sosial berupa edukasi seputar kesehatan. Saat itu, selain tidak bisa bepergian karena pandemi, ia lebih banyak menggunakan waktunya untuk memulihkan diri setelah melahirkan.
Kondisi itu membuat Yuni memiliki banyak waktu luang. Ia pun mengisinya dengan membuat konten bertema kesehatan yang berhubungan dengan tumbuh kembang anak, terutama yang berusia 0-5 tahun.
Yuni, yang mulai membuat konten pada 2020, kadang membuat video dan grafis. Ia mengangkat isu kesehatan anak yang membuat para orang tua khawatir. Salah satunya berhubungan dengan flu Singapura. Melalui gambar dan video, Yuni menjelaskan berbagai gejala dan dampak penyakit itu serta anjuran yang penting bagi para orang tua.
Boleh dibilang informasi yang ia sampaikan mudah dimengerti para pengikutnya di media sosial. Hingga kini, akun Instagram Yuni telah memiliki 37.600 pengikut. “Dari yang awalnya membuat konten di media sosial untuk mengisi waktu luang, jadi keterusan sampai sekarang,” tuturnya.
KONTEN-KONTEN kreasi dokter Jiemi Ardian, Andhika Raspati, dan Yuni Astria bisa dikatakan cukup mudah dicerna para pengikut mereka di dunia maya. Namun, bagi ketiga dokter influencer atau pemengaruh itu, dibutuhkan waktu lebih lama untuk mencari ide, melakukan riset, hingga membuat dan mengedit video sebelum hasil akhirnya bisa dinikmati orang-orang.
Para dokter itu sangat khawatir konten mereka salah. Mereka paham bahwa ide awal pembuatan konten edukasi adalah memberikan referensi bagi masyarakat. Karena itu, berbagai anjuran yang mereka tulis dalam konten tak boleh salah dan harus bisa dipertanggungjawabkan.
Dhika mencontohkan salah satu isu yang cukup sering menjadi kontroversi di kalangan warganet adalah minum air putih dingin saat berolahraga. Untuk isu yang terkesan sederhana itu, Dhika harus mencari solusinya di berbagai jurnal demi memberikan penjelasan medis yang didasari bukti ilmiah. “Saya bikin konten, risetnya sudah kayak mau sidang tesis. Baca yang banyak,” katanya.
Jiemi mengaku memiliki dua sahabat yang menjadi teman diskusinya ketika membuat konten. Kedua sahabatnya, yaitu psikolog dan psikiatri, juga adalah kreator konten. Setelah berdiskusi dengan mereka, Jiemi bisa lebih luas melihat risiko konten bertema sensitif yang hendak ia produksi.
“Karena dua sahabat saya itu juga kreator konten, mereka lebih memahami risiko dan isu konten tentang kasus sensitif yang sedang jadi tren,” tutur Jiemi.
Adapun Yuni mengungkapkan bahwa salah satu tanggung jawabnya adalah terus belajar. Ia rajin mengikuti berbagai seminar luring dan daring untuk memperbarui pengetahuannya tentang tumbuh kembang anak.
“Informasi kesehatan biasanya selalu ada revisinya. Aku terpacu untuk terus update ilmu agar tidak kudet (kurang update). Jangan sampai ada orang yang bilang ‘informasi ini kan lama, sudah ada yang terbaru’,” ujarnya. Belum lagi, Yuni menambahkan, saat ini pasien sudah makin pintar sehingga pertanyaan mereka di ruang konsultasi makin rinci.
Bagi Yuni, salah satu tantangannya adalah ketika makin banyak orang tua yang berkonsultasi di media sosial baik melalui pesan langsung (DM) maupun kolom komentar. Yuni mengaku kesulitan menyarankan pemberian obat atau terapi khusus kepada pasien tanpa melakukan pemeriksaan langsung secara rinci. “Bukan berarti saya enggan menjawab pertanyaan mereka,” ucapnya.
Selain memeriksa fisik pasien, Yuni menerangkan, dokter harus melakukan wawancara medis untuk mendapatkan gambaran rinci kondisi pasien. “Hal itu susah dilakukan dengan konsultasi lewat DM atau di kolom komentar. Konsultasi melalui DM itu berbahaya,” ujar Yuni, yang selalu menyarankan para orang tua untuk membawa anak-anak mereka ke dokter spesialis anak terdekat.
Tantangan lain yang biasanya mereka alami ketika mengedukasi penduduk jagat maya adalah masih adanya warganet yang enggan menerima penjelasan berbasis ilmiah. Dhika mengalaminya. Pernah ada netizen yang menyerang dia secara virtual. Penghuni media sosial tersebut, Dhika menjelaskan, lebih mempercayai berbagai mitos yang beredar dibanding penjelasannya yang berbasis jurnal ilmiah.
Dhika mengungkapkan, ia biasanya akan melihat akun siapa yang menyerangnya itu. Bila akun itu iseng dan hanya ingin membuat keributan, Dhika akan diam saja. “Tapi, kalau yang tidak setuju sesama dokter, biasanya akan saya ajak diskusi bersama,” tuturnya.
Jiemi juga kerap mendapat sorotan warganet yang masih enggan percaya bahwa masalah kesehatan jiwa adalah bidang ilmu medis. Walau penjelasan ilmiah sudah Jiemi berikan, netizen menyepelekannya.
Jiemi mengungkapkan, netizen sering membenturkan agama dengan psikiatri. “Ngapain ke psikiater kalau enggak punya Tuhan?” adalah komentar yang cukup umum ia terima.
SEJUMLAH orang mengaku mendapatkan manfaat dari konten-konten yang dibuat para dokter di media sosial. Contohnya Bella, 23 tahun. Ia mengaku beroleh hal positif dari beragam konten yang disampaikan para dokter pemengaruh itu.
Bella cukup tercerahkan oleh penjelasan dokter ketika menghadapi isu mitos atau fakta. Namun, agar lebih pasti, dia biasanya akan selalu mengecek silang informasi yang ia dapatkan kepada dokter secara langsung. “Pokoknya kroscek deh, kita harus jadi pasien yang cerdas,” katanya.
Dinda, 22 tahun, juga merasa sangat terbantu oleh para dokter yang aktif menjawab pertanyaan netizen. Ia merasa memperoleh edukasi serta informasi yang dibutuhkan tanpa harus berkonsultasi dengan dokter di rumah sakit.
“Dokter influencer dengan banyak pengikut di media sosial sudah pasti tepercaya serta banyak testimoni positif dari pasien mereka. Hal itu membuat saya lebih yakin bahwa mereka tepercaya,” ujar Dinda.
Rafi Alfian, 33 tahun, juga senang mengikuti penjelasan para dokter pemengaruh tersebut. Namun, untuk memastikan informasi yang didapatkan akurat, Rafi biasanya mengeceknya ulang dengan melihat pendapat dokter lain.
Hanya, menurut Rafi, kadang ada dokter pemengaruh yang menciptakan kontroversi di media sosial. “Tampaknya itu untuk meningkatkan interaksi atau engagement pada konten mereka. Hal ini bisa menjadi bumerang karena sering menimbulkan debat atau perpecahan di antara audiens,” ucap Rafi.
Dokter Spesialis Anak, Dokter Yuni Astria/Dok. Pribadi
Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia Djoko Widyarto mengatakan fenomena dokter yang mengedukasi warganet sebenarnya seiring dengan perkembangan zaman. Namun ia mengingatkan para dokter agar terus menjaga etika kedokteran. Di antaranya dalam hal promosi dan pemasaran.
“Dokter diperbolehkan mempromosikan ataupun memasarkan, tapi informasi yang ada harus faktual dan tidak boleh misleading atau menipu,” katanya.
Djoko juga mengingatkan bahwa para dokter tidak boleh dipengaruhi faktor komersial dan keuntungan serta punya konflik kepentingan. “Hanya diperbolehkan iklan yang namanya iklan layanan masyarakat, dengan syarat itu berkaitan dengan pola hidup sehat, perilaku hidup sehat, dan tidak mempromosikan produk tertentu,” ujarnya.
Isi iklannya, Djoko menambahkan, harus berimbang, obyektif, mendidik, tidak menakuti, dan tidak melanggar norma kepatutan. “Sponsor tidak boleh ikut campur dalam penyusunan materi,” ucapnya.