TEMPO.CO, Jakarta – Ketika dampak perubahan iklim meningkat dan menghantam kelompok paling rentan di dunia, Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) dalam laporan bertajuk “The Adaptation Gap Report 2024: Come Hell and High Water” berseru agar setiap negara secara dramatis meningkatkan upaya adaptasi iklim. Upaya tersebut dapat dimulai dengan komitmen pendanaan iklim pada konferensi COP29.
Kenaikan rata-rata suhu global mendekati 1,5° Celcius di atas masa pra-industri. Laporan terbaru UNEP yang dirilis 7 November 2024 tersebut mengungkapkan estimasi terbaru bahwa suhu bumi berada di jalur kenaikan dahsyat, yakni sebesar 2,6-3,1° Celcius pads abad ini jika tak dilakukan upaya pemangkasan emisi gas rumah kaca yang segera dan besar.
Laporan itu dirilis tepat sepekan sebelum konferensi iklim COP29 dimulai pada 11 November 2024 di Baku, Azerbaijan. Dalam laporannya, UNEP mengungkapkan bahwa kebutuhan adaptasi iklim secara signifikan semakin mendesak pada dekade ini. Upaya adaptasi itu diperlukan untuk mengatasi dampak perubahan iklim yang meningkat. Namun, upaya adaptasi iklim itu ternyata terhambat oleh adanya kesenjangan besar antara kebutuhan pendanaan dan aliran pembiayaan internasional saat ini.
Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, mengatakan bencana iklim telah menghantam kesehatan, memperlebar kesenjangan, merusak pembangunan berkelanjutan, dan mengguncang fondasi perdamaian. “Yang paling terkena dampak adalah mereka yang rentan, serta para pembayar pajak yang menanggung tagihannya. Sedangkan para penyedia semua kerusakan ini–khususnya industri bahan bakar fosil–meraup keuntungan besar dan subsidi,” kata Guterres dalam sebuah pesan video yang dikutip Tempo dari situs resmi UNEP, Sabtu, 9 November 2024.
Guterres mendorong negara-negara maju untuk menggandakan pendanaan adaptasi iklim menjadi setidaknya US$ 40 miliar per tahun pada 2025. Komitmen ini, kata dia, akan menjadi sebuah langkah penting untuk menutup kesenjangan pendanaan. “Kita perlu mewujudkan tujuan pendanaan iklim baru di COP29,” kata Guterres.
Pendanaan internasional untuk adaptasi iklim yang mengalir ke negara-negara berkembang meningkat dari US$ 22 miliar pada 2021 menjadi US$ 28 miliar pada 2022. Angka tersebut menjadi kenaikan absolut dan relatif tahunan terbesar sejak Perjanjian Paris.
Menurut Guterres, hal tersebut mencerminkan kemajuan menuju Pakta Iklim Glasgow, yang mendesak negara-negara maju untuk setidaknya menggandakan provisi pendanaan adaptasi ke negara-negara berkembang pada 2025, dari semula sekitar US$ 19 miliar pada 2019. Walau begitu, dia mengingatkan, tercapainya target Pakta Iklim Glasgow itu hanya akan mengurangi kesenjangan pendanaan adaptasi iklim, yang diperkirakan mencapai US$ 187-359 miliar per tahun.
Direktur Eksekutif UNEP, Inger Andersen, mengatakan krisis iklim telah menghancurkan masyarakat di seluruh dunia, terutama yang paling miskin dan rentan. Andersen bercerita bahwa bencana badai yang mengamuk meratakan banyak hunian. Kebakaran menyapu bersih hutan. Adapun degradasi lahan dan kekeringan merusak lanskap.
“Masyarakat, mata pencaharian mereka, dan alam tempat mereka bergantung, berada dalam bahaya nyata akibat konsekuensi perubahan iklim,” kata Andersen. “Tanpa tindakan, ini adalah pratinjau tentang masa depan kita dan mengapa tidak ada alasan bagi dunia untuk tidak serius dalam melakukan adaptasi sekarang.”
Menurut Andersen, negara-negara berkembang mengalami peningkatan kerugian dan kerusakan. Negara berkembang juga sudah berjuang dengan beban utang yang semakin meningkat. Oleh karena itu, kata dia, adaptasi yang efektif dan memadai, yang menggabungkan keadilan dan pemerataan, lebih mendesak dari sebelumnya.
Dalam laporannya UNEP menyerukan agar setiap negara meningkatkan ambisi mitigasi krisis iklim dengan mengadopsi tujuan kolektif baru yang terukur dan kuat ihwal pendanaannya di COP29. UNEP juga mendesak setiap negara memasukkan komponen adaptasi iklim yang lebih kuat dalam putaran komitmen iklim berikutnya atau Kontribusi yang Ditentukan secara Nasional (NDC), yang akan jatuh tempo awal tahun depan menjelang COP30 di Belém, Brasil.
Pilihan Editor: Mengapa Rencana Prabowo Subianto Melarang Impor Sampah Plastik Diragukan Terwujud