TEMPO.CO, Kupang – Pukul satu siang, air di Bendungan Raknamo yang terletak di Desa Raknamo, Kecamatan Amabi Oefeto, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, terlihat berkilau dari kejauhan. Dikelilingi perbukitan hijau, bendungan ini memilki daya tarik sebagai obyek wisata. Tapi, area Bendungan Raknamo tampak sepi ketika Tempo mengunjunginya pada Rabu, 20 November 2024.
“Hari ini semuanya masyarakat Kupang, masyarakat NTT pasti bersuka cita, berbahagia sekali karena Bendungan Raknamo ini yang kita nantikan sejak lama sudah akan segera dimulai proses pengisian airnya,” kata Presiden Jokowi saat meresmikan Bendungan Raknamo pada 9 Januari 2018, dikutip dari laman Sekretariat Kabinet.
Pada kenyataannya, air yang melimpah di bendungan bertolak belakang dengan situasi di desa sekelilingnya. Sejak diresmikan pada 2018 silam, bendungan yang merupakan Proyek Strategis Nasional itu gagal menjadi berkah bagi warga Desa Raknamo.
Bendungan yang menelan anggaran Rp 760 miliar ini diklaim mampu menyediakan air baku 0,1 m2 per detik dan irigasi pertanian seluas 1.250 hektar. Namun enam tahun berselang, warga masih mengalami krisis air.
Delapan tahun sudah Elizabeth Selan (33 tahun) kesulitan mengakses air bersih di desanya. Elizabeth yang tinggal di Dusun 1, sehari-hari merupakan ibu rumah tangga, sedangkan suaminya adalah kepala dusun. “Kadang kamar mandi tidak digunakan karena air bersih tidak ada, harus minta ke tetangga yang jaraknya cukup jauh,” kata Elizabeth saat ditemui wartawan di Kantor Kepala Desa Raknamo pada Rabu siang, 20 November 2024.
Setiap hari, ibu tiga anak ini harus memikul jerigen berisi air yang diambil dari sumur tetangga. Jerigen itu dipikulnya setiap pagi dan sore, karena air yang diambil biasanya sudah habis pada siang hari. Air tersebut, kata dia, digunakan di antaranya untuk mandi dan memberi minum hewan ternak. Sementara itu, Elizabeth mencuci pakaian dengan air yang diambil dari kali atau air hujan.
Elizabeth dan suaminya mendapat penghasilan utama dari bertani dan beternak. Namun, kelangkaan air membuat mereka mengalami gagal panen. “Itu (kerugiannya) sampai Rp 5 juta kalau sawah tidak jadi,” ucap dia.
Untuk menambah pemasukan, Elizabeth memutar otak dengan menjual gorengan. Tapi, menurut dia, pendapatan dari berjualan terkadang tidak mencukupi. Walhasil, dia harus meminjam uang demi memenuhi kebutuhan.
Sementara itu, Fransisca Dona Fernandez (28 tahun) yang tinggal di Dusun 3, mengaku terkadang harus membeli air bersih untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Menurut Fransisca, satu tangki air seharga Rp 120 ribu cukup untuk satu pekan, apabila digunakan dengan irit.
Suami Fransisca berprofesi sebagai tukang ojek, sementara dirinya adalah ibu rumah tangga. Ibu dua anak ini bercerita, air dari tangki digunakan untuk minum dan memasak. Sedangkan untuk mandi dan mencuci pakaian, biasanya dia akan pergi ke kali yang berjarak sekitar 100 meter dari rumahnya.
Menurut Fransisca, pada 2015, air di Desa Raknamo mengalir dengan lancar dari sumber air setempat. “Sebelum ada bendungan airnya lancar,” ungkap dia. Fransisca menyebut akses air menjadi sulit semenjak ada pembangunan bendungan, sebab konstruksi jalan raya berakibat pada pembongkaran pipa air.
Kepala Desa Raknamo Augusto Fernandes membenarkan adanya krisis air yang dialami oleh warganya. Menurut dia, kelangkaan air terjadi hampir setiap saat tanpa mengenal musim. “Apalagi kalau musim hujan kalinya banjir, berarti setengah mati mereka harus gali lagi untuk air bersihnya,” ujar Augusto.
Augusto mengakui kehadiran Bendungan Raknamo belum memberikan dampak yang maksimal. Menurut dia, air dari bendungan dibuka satu tahun sekali untuk irigasi, sedangkan reservoir air bersih belum selesai dibangun.
Saat ini, kata Augusto, pengelolaan bendungan masih dipegang oleh Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara II dan belum diserahkan ke pemerintah kabupaten.
Pemerintah desa sendiri sudah berupaya melakukan intervensi guna memenuhi kebutuhan air bersih, salah satunya dengan membangun pompa hidram pada 2020. Namun, menurut Augusto, pompa ini tidak berfungsi secara maksimal.
Kemudian pada 2024, pemerintah desa menggunakan dana desa untuk mengadakan bak hidram, akan tetapi satu bulan terakhir airnya macet karena kerusakan mesin.
Wakil Menteri Pekerjaan Umum Diana Kusumastuti membantah pembangunan bendungan berdampak pada pembongkaran pipa. Menurut dia, suplai air baku ke Desa Raknamo dialirkan menggunakan pompa, namun saat ini pompanya mengalami kerusakan.
“Sekarang pompanya sudah ada dan akan segera dipasang, paling lama Sabtu sudah selesai,” kata Diana melalui aplikasi pesan singkat pada Kamis, 21 November 2024.
Upaya Melibatkan Perempuan dalam Pembangunan
Para perempuan di Desa Raknamo tidak tinggal diam menghadapi krisis air. Melalui pelbagai upaya, mereka berusaha untuk menyuarakan keresahan mengenai situasi yang mereka hadapi.
Elizabeth mengatakan perempuan di desanya sudah mulai terlibat dalam musyawarah. Dalam musyawarah itu, kata dia, dibahas isu-isu strategis seperti air bersih, stunting, dan pembangunan jalan. “Saya sendiri akhir-akhir ini baru diajak, karena saya orangnya biasa protes, jadi suka nggak diajak,” ungkap dia.
Selain air bersih, Elizabeth juga menyuarakan isu stunting yang menurut dia, menjadi masalah genting di Desa Raknamo. “Anak saya yang berumur 4 tahun pernah stunting, mungkin karena kurang air bersih,” ucap dia.
Raknamo merupakan satu di antara empat desa di Kabupaten Kupang yang saat ini menjadi sasaran program pendampingan untuk pemberdayaan perempuan oleh Circle of Imagine Society (CIS) Timor, dengan dukungan dari UN Women dan Korea International Cooperation Agency (KOICA).
Sejak berjalan pada Agustus 2024, Wakil Direktur CIS Timor Buce Ga mengatakan lembaganya sudah melakukan beberapa intervensi demi meningkatkan keterlibatan perempuan dalam perencanaan pembangunan di desa.
“Kita sudah bentuk forum perencanaan desa yang dipimpin oleh perempuan,” kata dia saat dihubungi pada Kamis, 21 November 2024. Menurut Buce, para perempuan mendapatkan pelatihan untuk bisa mengidentifikasi masalah serta mengetahui sistem perencanaan pembangunan yang ada di desa.
Buce menilai masalah kelangkaan air tidak bisa dipisahkan dari peran perempuan. Sebab, kata dia, persoalan domestik masih menjadi beban yang ditanggung oleh perempuan. Akibatnya, menurut dia, perempuan menanggung beban ganda. “Mereka pergi ambil air, pulang harus masak lagi, kan begitu,” ujar dia.
Buce berharap pendampingan yang dilakukan oleh lembaganya bisa membuat perempuan semakin terlibat dalam mengavokasi berbagai permasalahan yang ada di desa. Dia juga berharap ada alokasi anggaran dari dana desa yang menjawab kebutuhan air, sehingga beban perempuan akan berkurang. Adapun program ini dijadwalkan akan berjalan hingga 2026.
Programme Manager Governance, Peace and Resilience UN Women, Yulies Puspaningtyas, mengatakan program ini bertujuan untuk mendorong perencanaan dan penganggaran desa yang lebih sensitif gender. Selain itu, kata dia, program ini bertujuan agar aspirasi perempuan dan anak muda bisa masuk ke dalam perencanaan.
“Jadi setiap tahun desa kan bikin musyawarah rencana pembangunan (musrenbang), waktu itu kita sempat fasilitasi juga (agar melibatkan perempuan),” kata dia kepada awak media di Hotel Aston Kupang, NTT, pada Rabu, 20 November 2024.