TEMPO.CO, Jakarta – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI mengusulkan ke Kementerian Kesehatan atau Kemenkes untuk menggolongkan ketamin sebagai psikotropika. Alasan penggolongan ketamin itu disebut Kepala BPOM RI, Taruna Ikrar sebagai salah satu obat keras yang menghasilkan efek anestesi dan analgesik yang kuat.
Untuk diketahui, penyaluran ketamin ke apotek mengalami peningkatan menjadi tiga ribu vial yang didistribusikan pada 2022. Sementara itu, data ini meningkat menjadi 44 ribu vial di 2023 dan menjelang penghujung 2024, penyaluran ketamin meningkat hingga 152 vial.
“Data yang kita temukan di sini, tren penyaluran ketamin injeksi ke fasilitas pelayanan kefarmasian seperti yang terpampang di layar, bahwa tahun 2022 itu 134 ribu vial, pada satu tahun kemudian meningkat menjadi 235 ribu, dan pada tahun ini saja, masih kuartal ketiga, itu sudah 440 ribu,” kata Taruna, Jumat pekan lalu yang dikutip dari Antara.
Ketamin adalah salah satu obat anestesi yang beredar secara bebas di apotek Indonesia. menurut situs Kemenkes, ketamin biasanya digunakan sebagai obat anestesi untuk pasien yang akan menjalani suatu prosedur medis, misalnya pembedahan. Ciri fisik obat ini adalah berwujud larutan tidak berwarna, bersifat agak asam dan sensitif terhadap cahaya serta udara.
Meski penggunaan ketamin harus dengan resep dokter, Taruna melanjutkan bahwa pada kenyataannya obat jenis ini banyak digunakan secara rekreasional, seperti untuk memasang tato atau ingin bersenang-senang di diskotik.
Menurut data, sambung Taruna, pengguna ketamin terbanyak ditemukan di Bali sebab tempat pariwisata. Kemudian disusul di Jawa Timur dan Jawa Barat.
“Ternyata kita dapat sebagian data, sebagian penggunanya ini pada umumnya adalah anak-anak muda generasi Z,” ujarnya.
Selain mengusulkan regulasi baru untuk penggolongan ketamin sebagai psikotropika kepada Kemenkes, Taruna menyebutkan bahwa pihaknya juga akan merevisi Peraturan BPOM Nomor 10 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengelolaan Obat-obat Tertentu yang Sering Disalahgunakan, memasukkan ketamin ke dalam peraturan tersebut.
Berikutnya, disebutkan Taruna bahwa pihaknya akan memanggil pengelola apotek yang memberikan ketamin tak sesuai prosedur untuk dimintai pertanggungjawaban. Taruna juga mengatakan pemanggilan akan dilakukan pada para distributor dan produsen.
“Kami akan secara tegas melakukan pembinaan kepada masyarakat luas lewat berbagai program-program kita, karena kan kita ada program jelas yang namanya komunikasi, informasi, dan edukasi dengan budget yang cukup besar,” tuturnya.
Risiko Penggunaan Ketamin
Obat ini pertama kali diperkenalkan di Belgia pada 1960 sebagai obat anestesi untuk hewan. Ketamin telah mendapatkan persetujuan FDA sebagai anestesi untuk manusia pada 1970. Pada awalnya, ketamin dipergunakan untuk merawat tentara yang terluka di medan perang Vietnam. Namun, seiring waktu, peran dan kegunaan ketamin kini mulai berkembang.
Obat ini memiliki banyak efek samping yang ditimbulkan bagi penggunanya, seperti sedasi, euphoria, relaksasi, amnesia seperti memakai narkotika. Lebih lanjut, Taruna menyebutkan efek samping ketamin lainnya adalah bisa memberikan dampak pada mental dan fisik, seperti halusinasi, psikosis, kerusakan sistem syaraf dan hati, adiksi, bahkan bisa memicu keinginan bunuh diri.
Cara kerja dari obat ini adalah dengan menghibisi kanal N-metil-D-aspartat (NMDA) dan kanal neuronal hyperpolarization activated cationic (HCN1). Tidak hanya pada sistem saraf, ketamin memiliki efek samping pada jantung yang bersifat simpatomimetik, sebab efek inotropik positif dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer yang menyebabkan tekanan darah dan denyut jantung meningkat.
Pada sistem pernafasan, efek ketamin adalah bisa menimbulkan dilatasi (pelebaran) bronkus sehingga merupakan obat pilihan pada pasien asma. Efek ketamin terhadap otot rangka dapat menyebabkan rigiditas atau kaku otot dan sendi tetapi efek ini dapat dikurangi dengan pemberian diazepam terlebih dahulu.
Winda Oktavia berkontribusi dalam penulisan artikel ini.