TEMPO.CO, Jakarta – Direktur Keuangan PT Timah Tbk periode 2016-2020, Emil Ermindra, membacakan pleidoi terhadap tuntutan jaksa penuntut umum. Terdakwa kasus korupsi tata niaga timah di wilaya izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah itu sempat terisak saat membacakan nota pembelaannya.
Emil, dalam pleidoinya, menceritakan ia ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi timah pada 16 Februari 2024 pukul 17.45. Saat itu, ia pun merasa menyesal dan berdosa apalagi kepada anak, istri, dan orang tuanya. “Siapa yang harus menjadi tulang punggung, menafkahi mereka?” tutur Emil sembari terisak dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Kamis, 12 Desember 2024.
Selama ditahan, lanjutnya, tiada hari yang ia lalui tanpa penyesalan. Emil meyakini, semua yang ia lakukan bertujuan meningkatkan kinerja perjsahaan dan sudah sesuai prosedur operasional standar (SOP). “Saya merasa dikriminalisasi oleh jaksa penyidik dan jaksa penuntut umum,” ucap Emil.
Ia menjelaskan, dirinya tak pernah dilibatkan dalam kerja sama PT Timah dengan lima smelter swasta. Ia juga menampik ikut berperan menentukan CV boneka yang disebut jaksa penuntut umum sebagai afiliasi PT Timah dan perusahaan smelter swasta.
“Saya tidak pernah mengatur pembelian bijih timah dari penambang ilegal dengan menggunakan CV Salsabila,” lanjut Emil. Ia juga membantah mengendalikan CV tersebut untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Lebih lanjut, ia menyoroti tuntutan jaksa penuntut umum terhadapnya. “Menurut saya, penjara 12 tahun begitu sadis tuntutan itu.”
Emil mengklaim, kalau dirinya memang terlibat dan memakan uang haram, dituntut 1.000 tahun pun ia siap. Namun, ia tak pernah terlibat menguntungkan diri sendiri, orang lain ataupun siapapun dalam perkara ini.
Ia juga keberatan atas tuntutan membayar denda sejumlah Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 493,39 miliar. “Kalau memang saya punya uang sebesar itu, saya gunakan untuk pengobatan istri yang mengidap kanker,” tuturnya.
Hal senada diungkapkan penasihat hukum Emil Ermindra. Penasihat hukum meminta majelis hakim untuk mempertimbangkan konteks lebih luas, yakni situasi krisis yang dialami PT Timah.
“Pertama, maraknya pertambangan ilegal (Peti) di Babel pasca 99 setelah timah tidak lagi dikategorikan sebagai komoditas strategis menciptakan persaingan yang tidak sehat dan menekan harga timah,” ucap penasihat hukum Emil.
Kemudian, persaingan semakin ketat dengan munculnya smelter swasta sejak 2000-an. Sedangkan PT Timah bergantung kepada harga timah dunia yang pada periode tersebut sedang mengalami penurunan. “Tepatnya pada 2019, di mana tingginya stok persediaan tertahan dan harga timah dunia turun,” ujar penasihat hukum Emil Ermindra.
Selain itu, fokus PT Timah pada produksi laut mengakibatkan rendahnya perolehan bijih timah dan produksi logam, terutama dari tambang darat. Kondisi internal perusahaan PT Timah juga tak kalah memprihatinkan.
Sebab, volume ekspor dan pendapatan penjualan rendah. Ini diperparah dengan kondisi keuangan yang merugi akibat tingginya biaya. PT Timah juga menghadapi kurangnya modal kerja dan pembekuan fasilitas kredit. Belum lagi karyawan yang melakukan demonstrasi karena krisis kepercayaan terhadap manajemen.
“Kami sangat yakin, berdasarkan alat bukti yang sah di persidangan, bahwa terdakwa Emil Ermindra sama sekali tidak melakukan tindak pidana korupsi,” tutur Penasihat Hukum Emil Ermindra.