SEJAK 2009, Indonesia mulai membuka ruang bagi aborsi dalam kondisi tertentu, yakni kedaruratan medis dan bagi korban pemerkosaan lewat Undang-Undang Kesehatan. Dalam aturan tersebut, korban perkosaan memiliki waktu enam minggu untuk mengaborsi kandungan. Hal ini sejalan dengan pandangan medis dan kepercayaan agama bahwa janin sebelum enam minggu dianggap belum memiliki roh dan lebih minim risiko tindakan.
Di sisi lain, batas waktu ini dianggap tidak realistis bagi banyak perempuan yang kerap tak sadar akan kehamilan dalam waktu singkat. Apalagi dengan trauma mendalam yang menyulitkan korban perkosaan segera mencari pertolongan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2022 menyatakan pembatasan usia kandungan oleh negara tidak seharusnya diberlakukan dan aborsi dianggap aman dilakukan hingga usia kehamilan 28 minggu. Pada tahun berikutnya, pemerintah melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru memperpanjang batas waktu aborsi korban kekerasan seksual menjadi 14 minggu, yang dianggap sebagai langkah positif bagi perlindungan perempuan.
Tapi penerapan aborsi yang aman di Indonesia menghadapi berbagai kendala. Salah satu contoh tragis terjadi di Jambi pada 2018. Seorang gadis berinisial WA diperkosa abangnya sendiri kemudian dikriminalkan karena melakukan aborsi dengan bantuan ibunya. Hakim memutuskan bahwa WA secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana aborsi. Di sini hakim mengabaikan fakta bahwa WA hanyalah seorang anak sekaligus korban perkosaan.
Putusan hakim mengacu pada aturan aborsi dalam KUHP lama. Mungkin mereka lupa UU Kesehatan 2009 bisa jadi pengecualian. WA hanyalah satu dari banyak perempuan yang tak punya pilihan. Negara absen jadi jembatan keadilan bagi banyak korban perempuan. Kesemrawutan regulasi tampaknya membuat hakim bingung membaca aturan, yang berdampak pada keadilan korban.
Kendala teknis lain dalam penerapan aborsi juga masih terjadi. Meskipun Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 61 Tahun 2014 menyebutkan hanya tenaga kesehatan bersertifikasi yang boleh melakukan aborsi, pelatihan dan fasilitas yang ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan belum terealisasi sama sekali.
Data Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan menunjukkan, dari 2018 hingga 2023, 103 korban pemerkosaan yang hamil hampir semuanya tidak mendapat akses aborsi aman. Akibatnya, banyak korban terpaksa mencari aborsi di tempat ilegal dengan risiko kesehatan serius.
Salah satu warisan Presiden Joko Widodo menjelang akhir masa jabatannya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 sebagai turunan dari UU Kesehatan yang diteken pada 26 Juli 2024. Peraturan ini menghadirkan kebaruan penting dengan memperluas definisi perkosaan, mencakup kekerasan seksual lain yang berpotensi menyebabkan kehamilan, termasuk pemaksaan pelacuran, eksploitasi seksual, dan perbudakan seksual. Perluasan ini menjangkau lebih banyak korban agar tidak terbatas pada definisi sempit.
Selebihnya kebaruan dalam PP Nomor 28 Tahun 2024 cenderung mengalami kemunduran dari aturan-aturan aborsi sebelumnya. Dalam peraturan pemerintah ini, teknis penyelenggaraan aborsi dibuat makin “susah” dengan akses layanan yang hanya bisa didapat di fasilitas kesehatan tingkat lanjut. Padahal, dalam aturan sebelumnya, aborsi dapat diakses di tingkat puskesmas.
Kemunduran lain terdapat pada ketentuan pembuktian aborsi, selain dengan keterangan dokter atas usia kehamilan, harus disertai keterangan penyidik atas dugaan perkosaan. Padahal sebelumnya keterangan dokter atas usia kehamilan dapat disertai pilihan keterangan penyidik, psikolog, atau ahli lain. Pilihan pembuktian keterangan dalam PP Nomor 28 Tahun 2024 dipersempit dan korban tidak diberi pilihan.
Teknis penyelenggaraan aborsi diperketat, padahal aturan-aturan yang sebelumnya longgar masih nihil implementasi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa aturan tersebut akan sama dengan yang lain: berakhir mangkrak. Sebaik apa pun aturan tertulis dibuat, jika tidak direalisasi, akan tetap menjadi norma kosong belaka.
Dalam ketentuan peralihan PP Nomor 28 Tahun 2024 sampai KUHP baru berlaku batas usia kehamilan mengikuti aturan sebelumnya, yaitu kurang dari enam minggu. Ada waktu tunggu bagi korban perempuan bisa “menikmati” kelonggaran batas usia kandungan untuk melakukan aborsi.
Secara aturan normatif, hal ini mungkin terlihat sistematis. Ketentuan umum KUHP berlaku selaras dengan ketentuan khusus di bawahnya. Walau di sisi lain hal ini tetap terasa ganjil karena masih ada “masa tunggu” dalam ketentuan yang bersifat pelindungan, padahal pemerkosaan bisa terjadi kapan saja.
Pemerintah seharusnya bergegas menyiapkan ketentuan teknis, menyusun pelatihan bersertifikasi, serta menunjuk dan membangun semua fasilitas yang diamanati regulasi. Pemberlakuan KUHP pada awal 2026 akan menjadi pembuktian apakah negara akhirnya mampu mengedepankan perlindungan korban pemerkosaan atau malah sekadar jadi panggung kegagalan.