TEMPO.CO, JAKARTA – Broken home artinya kondisi keluarga yang tidak utuh atau harmonis akibat perceraian, konflik berkepanjangan, atau perpisahan antara orang tua.
Broken home adalah situasi yang sering kali memengaruhi kehidupan emosional dan psikologis anak-anak yang terlibat, karena mereka harus menghadapi perubahan besar dalam struktur keluarga. Istilah ini tidak hanya mencerminkan hilangnya keutuhan keluarga secara fisik, tetapi juga merujuk pada ketidakhadiran dukungan emosional dari salah satu atau kedua orang tua.
Meskipun begitu, penting untuk memahami bahwa kondisi broken home bukanlah akhir dari segalanya, karena banyak individu yang mampu bangkit dan sukses meski berasal dari keluarga dengan latar belakang seperti ini.
Penyebab Broken Home
Penyebab broken home dapat beragam dan sering kali dipengaruhi oleh berbagai faktor internal maupun eksternal dalam keluarga. Berikut adalah beberapa penyebab utama broken home:
- Perceraian orang tua.
- Konflik berkepanjangan
- Kekerasan dalam rumah tangga
- Perselingkuhan
- Kondisi ekonomi
- Kurangnya komunikasi
Dampak Dari Broken Home
-
Mempengaruhi Akademik Anak
Dampak dari broken home seringkali berupa masalah emosional yang mendalam, terutama pada anak-anak.
Ketika keluarga tidak lagi utuh, anak kehilangan rasa aman dan stabilitas yang biasanya diberikan oleh hubungan harmonis orang tua.
Perpisahan atau konflik dalam keluarga dapat menimbulkan perasaan cemas, marah, dan kesepian karena anak merasa terabaikan atau bingung dengan perubahan yang terjadi.
-
Kesulitan Membangun Hubungan
Ketika anak tumbuh di lingkungan yang penuh konflik atau kehilangan figur orang tua yang harmonis, anak-anak sering merasa sulit memahami konsep hubungan yang sehat dan saling mendukung.
Pengalaman negatif seperti rasa tidak aman, kurangnya kepercayaan, atau ketakutan akan penolakan dapat terbawa hingga dewasa, sehingga memengaruhi kemampuan mereka untuk membangun hubungan yang stabil. Akibatnya, mungkin menjadi terlalu takut untuk terikat secara emosional atau justru terjebak dalam pola hubungan yang tidak sehat.
Orang tua sering merasa tertekan oleh perasaan gagal dalam mempertahankan keluarga, yang dapat menimbulkan rasa bersalah atau kecemasan tentang masa depan anak-anak.
Selain itu, tanggung jawab yang semakin besar, seperti mengurus anak sendirian atau menghadapi kesulitan finansial, dapat memperburuk keadaan emosional.
Tekanan ini sering kali membuat orang tua merasa kelelahan, cemas, dan kesulitan mengelola perasaan.
Pembagian tanggung jawab keuangan antara orang tua yang terpisah seringkali menambah beban finansial, karena satu orang tua harus menanggung seluruh biaya hidup dan pendidikan anak.
Selain itu, orang tua tunggal mungkin harus bekerja lebih keras atau mencari pekerjaan tambahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, yang dapat mengurangi waktu untuk perawatan emosional anak-anak.
Semua ini dapat menciptakan stres finansial yang memperburuk kondisi psikologis dan kesejahteraan keluarga secara keseluruhan.
Cara Mengatasi Broken Home
Broken home perlu diatasi dengan pendekatan bijaksana dan penuh kesabaran, baik untuk anak maupun orang tua. Berikut beberapa cara yang dapat membantu mengatasi dampak broken home.
1. Membangun Komunikasi Semua Pihak
Membangun komunikasi yang baik antara semua pihak yang terlibat, terutama antara orang tua dan anak. Komunikasi yang terbuka memungkinkan setiap individu untuk mengungkapkan perasaan, kekhawatiran, dan kebutuhan mereka, sehingga bisa mengurangi ketegangan dan kebingungan yang sering muncul setelah perpisahan.
Orang tua harus menciptakan suasana aman dan penuh perhatian untuk anak-anak agar mereka merasa didengar dan dipahami.
Selain itu, mendengarkan dengan empati dan memberikan penjelasan yang jelas mengenai situasi yang terjadi juga membantu anak untuk menerima kenyataan dan mengurangi rasa cemas. Dengan komunikasi yang baik, hubungan emosional bisa terjaga, dan proses penyembuhan pasca broken home menjadi lebih mudah.
2. Menstabilkan Rutinitas
Rutinitas yang konsisten memberikan rasa aman dan keteraturan, terutama bagi anak-anak yang mungkin merasa cemas atau bingung setelah perpisahan orang tua.
Dengan adanya jadwal harian yang jelas, anak-anak merasa lebih terkontrol dan dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dalam keluarga.
Selain itu, orang tua juga perlu fokus pada pengembangan diri mereka, baik secara emosional maupun psikologis, untuk menjadi figur yang lebih kuat dan mendukung anak.
3. Konseling dengan Psikolog
Setelah perpisahan atau konflik keluarga, sering kali muncul perasaan yang sulit dihadapi sendiri, baik bagi orang tua maupun anak.
Mencari bantuan dari seorang psikolog atau terapis dapat membantu setiap individu mengelola emosi mereka, mengatasi trauma, dan memperbaiki komunikasi dalam keluarga.
Profesional dapat memberikan perspektif yang objektif serta strategi untuk mengatasi stres dan kebingungan, sambil membantu keluarga memahami bagaimana cara membangun hubungan yang lebih sehat pasca broken home.
Alisha Faradina, berkontribusi dalam artikel ini.