TEMPO.CO, Jakarta – Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi pertahanan, Dave Akbarshah Fikarno, mengatakan rotasi jabatan dan promosi sekitar 300 perwira tinggi (Pati) merupakan hal rutin di tubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Yang penting, kata politikus Partai Golkar ini, bagaimana para pejabat struktural dalam TNI ini menjalankan visi Presiden Prabowo Subianto ke depan.
“Utamanya untuk menyelesaikan semua target pemerintahan ke depan,” tuturnya melalui pesan pendek kepada Tempo, Kamis, 12 Desember 2024.
Tubagus Hasanuddin, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, juga menganggap wajar mutasi PATI TNI sebagai penyegaran penyesuaian tugas dengan regenerasi kepemimpinan. Mayor jenderal purnawirawan itu yakin semua prajurit loyal kepada Presiden Prabowo sebagai panglima tertinggi TNI.
Hasanuddin juga menilai wajar Prabowo menempatkan orang-orang kepercayaannya. “Kalau untuk pemimpin-pemimpin sipil, mungkin Prabowo memilih orang dengan baik. Kalau untuk pemimpin militer, standarnya samalah. Yang penting, yang dikenal Pak Prabowo itu memiliki kemampuan, skill yang baik,” ujarnya.
Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto meneken Surat Keputusan Panglima TNI 1545/XII/2024 pada 6 Desember. Orang dekat ataupun mantan anak buah Prabowo mengisi posisi strategis setelah perputaran sekitar 300 perwira tinggi TNI itu. Salah satunya pengangkatan Letnan Jenderal Nugroho Sulistyo Budi sebagai Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menggantikan Letnan Jenderal (Purnawirawan) Hinsa Siburian.
Nugroho adalah mantan anggota Tim Mawar atau Satuan Tugas Mawar Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat yang saat itu dipimpin Danjen Prabowo Subianto – Presiden RI saat ini. Dia belum tiga bulan menjabat Inspektur Utama Badan Intelijen Negara (BIN).
Selain Nugroho sebagai Kepala BSSN, orang dekat dan mantan anak buah Prabowo yang mengisi posisi penting dalam mutasi dan rotasi TNI saat ini adalah Letnan Jenderal Mohammad Fadjar sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). Mayor Jenderal Iwan Setiawan dari Panglima Kodam XII/Tanjungpura ditunjuk menjadi Komandan Pusat Kesenjataan Infanteri.
Fadjar adalah lulusan Akademi Militer pada 1993 dari infanteri Kopassus yang pernah terlibat operasi militer di Timor Timur. Sedangkan Iwan, yang juga dari infanteri Kopassus, pernah mengikuti ekspedisi Mount Everest 1996 yang diinisiasi Danjen Kopassus saat itu, Prabowo.
Mutasi perwira tinggi TNI pada masa awal pemerintahan Prabowo juga menempatkan Mayor Jenderal Kunto Arief Wibowo sebagai Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I (Pangkogabwilhan I). Putra mantan Wakil Presiden Try Sutrisno ini sebelumnya menjabat Staf Ahli Bidang Ekonomi Sekretariat Jenderal Dewan Ketahanan Nasional.
Pengangkatan Kunto sebagai Pangkogabwilhan memberikan sinyal reorientasi. Sejak dibentuk pada 2019, baru pertama kali ini Pangkogabwilhan I dijabat perwira tinggi dari TNI Angkatan Darat. Sebelumnya, Pangkogabwilhan I kerap diisi oleh perwira tinggi dari TNI Angkatan Laut.
Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Hariyanto mengatakan penunjukan jabatan dalam tubuh TNI, termasuk posisi dan jabatan pejabat tinggi, adalah kewenangan internal yang mempertimbangkan berbagai aspek. Di antaranya, kebutuhan organisasi, pengalaman bertugas, prestasi, dan profesionalisme perwira.
Hariyanto menjelaskan penunjukan Nugroho Sulistyo Budi sebagai Kepala BSSN merupakan keputusan yang diambil dengan penuh pertimbangan. “Ini demi mendukung optimalisasi tugas pada bidang lingkup kerja yang diemban saat ini,” ujarnya melalui pesan pendek kepada Tempo saat dimintai konfirmasi pada Kamis, 12 Desember 2024.
Guru Besar Universitas St.Petersburg Rusia Connie Bakrie, menilai, penunjukkan eks anggota Tim Mawar, Letnan Jenderal Nugroho Sulistyo Budi, sebagai Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), terjadi karena realpolitik. Dia mengatakan dalam sistem politik Indonesia, militer itu merupakan aktor penting, sehingga pemilihan individu bisa saja atas pertimbangan strategis bagi pemimpin.
Sederhananya, realpolitik adalah tindakan politik yang lebih didasarkan kepada pertimbangan praktis ketimbang moral atau ideologi. Namun, kata dia, dalam realpolitik, keputusan sering didasarkan karena kebutuhan jangka pendek atau untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan.
“Masalahnya juga. langkah ini bisa melemahkan legitimasi pemerintah di mata publik domestik juga internasional. Karena dapat dianggap mengabaikan nilai HAM dan hukum – dianggap memperkuat budaya impunitas, karena tentara/perwira dengan rekam jejak kontroversial tetap mendapat posisi penting tanpa kejelasan mekanisme evaluasi dan akuntabilitas,” kata Connie melalui keterangan melalui aplikasi perpesanan pada Jumat, 13 Desember 2024.
Ujungnya, kata Connie, penunjukkan Nugroho, bisa semakin memperkuat narasi di masyarakat kalau pelanggar HAM tidak akan mendapat konsekuensi dan mencederai upaya penghormatan terhadap HAM. “Kecuali kita sudah punya semua bukti dan argumen yang terjadi: dulu bukanlah pelanggaran HAM. Itupun harus dijelaskan,” katanya.