TEMPO.CO, Jakarta – Perkembangan dan penyebaran mikroba resisten obat dapat disebabkan oleh empat hal utama. Hal itu disampaikan oleh Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. dr. Anis Karuniawati.
“Pertama, penggunaan antibiotik, swamedikasi, dan faktor lain di komunitas,” kata Anis di Kampus UI, Kamis, 14 November 2024.
Kedua, penggunaan antibiotik dan faktor lain di fasilitas layanan kesehatan. Ketiga, penggunaan antibiotik pada produksi makanan, peternakan, dan pertanian. Keempat, terdapat bakteri atau mikroba lain yang resisten di lingkungan, yang merupakan akibat dari tiga faktor lain.
Menurutnya, bakteri resisten muncul akibat kondisi resistensi antimikroba (AMR), yakni saat mikroba tidak dapat dimatikan dengan antimikroba yang sebelumnya bisa mematikan. Sifat resisten bakteri terhadap suatu antibiotik adalah sifat alami akibat mutasi spontan atau berpindahnya materi genetik pembawa sifat resisten dari sel bakteri lain ke dalam sel bakteri tersebut. Resistensi dapat timbul terhadap satu jenis antibiotik (monoresisten) atau beberapa antibiotik sekaligus, yang dikenal dengan multidrugs resistant (MDR).
Ia mengatakan untuk menangani hal tersebut pemerintah menerbitkan Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba (RAN-AMR) Periode 2017–2019 sesuai rekomendasi Sidang Majelis Kesehatan Dunia (World Health Assembly) ke-68 tahun 2017. RAN-AMR yang disusun dengan melibatkan banyak kementerian ini kemudian disahkan sebagai Peraturan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 dengan konsep one health.
Konsep one world-one health yang dipublikasikan sejak 2004 ini merupakan strategi global untuk menekankan pentingnya pendekatan yang holistik, trans dan interdisipliner, serta menggabungkan keilmuan multisektor dalam menangani kesehatan manusia, hewan, dan ekosistem. Dalam penerapannya, konsep one health harus melibatkan berbagai tingkat tata kelola kesehatan, mulai dari level global hingga lokal, dengan mendorong pendekatan partisipatif yang mempertemukan masyarakat, pakar ilmiah, termasuk dalam bidang sosial, pemerintah, pemangku kepentingan lain, serta pihak industri dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Program pengendalian AMR
Meski demikian, dalam kenyataan yang dihadapi oleh banyak negara, struktur pemerintah yang sektoral membatasi perkembangan pendekatan transdisipliner dan aksi yang terintegrasi. Tantangan utama penerapan konsep one health adalah menghilangkan batas interdisiplin antarkeilmuan, dan untuk mengatasinya diperlukan data berbasis bukti tentang nilai tambah pendekatan one health. Hal ini menjadi tugas akademisi untuk membangun interaksi keilmuan sains dan sosial untuk mendorong manfaat integratif yang diharapkan dari konsep one health.
“Komitmen berbagai pihak sangat diperlukan dalam pelaksanaan program pengendalian AMR dengan pendekatan one health. Komitmen politik dan kepemimpinan pemerintah diperlukan untuk membuat keputusan yang tepat. Komitmen penyediaan dana dan koordinator lintas sektor juga dibutuhkan untuk membangun rasa saling percaya, kepemilikan, dan kerjasama,” ujarnya.
Selain itu, implementasi RAN-AMR harus dihubungkan dengan program di kementerian/lembaga dan harus melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama mengingat Indonesia memiliki masyarakat yang sangat beragam adat dan budayanya.