TEMPO.CO, Jakarta – Lingkar pinggang pada tubuh dapat menjadi tanda utama faktor risiko penyakit jantung. Penelitian bertajuk “Hubungan Komponen Sindrom Metabolik dengan Indeks Massa Tubuh” membahas mengenai sindrom metabolik, yakni kondisi kumpulan gejala kesehatan yang menjadi indikator peningkatan risiko penyakit jantung, stroke, hingga diabetes.
“Faktor utama yang dikaitkan dengan sindrom metabolik adalah lingkar pinggang, tekanan darah, kadar gula darah, rendahnya HDL atau kolesterol baik, dan tingginya kadar trigliserida atau LDL. Kalau ada dua dari lima faktor yang disebutkan maka tertegak dia mengalami kelainan metabolik atau sindrom metabolik. Jadi dari dua saja sudah cukup,” ujar peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung, dr. Gaga Irawan Nugraha, Senin, 11 November 2024.
Dalam podcast “Hasil Riset dan Diseminasi (HaRD Talk)” Universitas Padjadjaran, Gaga mengungkapkan faktor-faktor sindrom metabolik, terutama lingkar pinggang berlebih, dapat ditemukan pada orang-orang yang tampak sehat atau bahkan tidak mengalami obesitas. Temuan tersebut sekaligus meyakinkan orang dengan berat badan normal juga memiliki risiko sindrom metabolik dan lingkar pinggang yang masuk dalam kategori berlebih adalah mencapai 80 cm bagi perempuan dan 90 cm pada laki-laki.
Berdasarkan temuan penelitiannya, Gaga menyebut sekitar 20 persen orang yang mengalami sindrom metabolik tidak mengalami obesitas sama sekali. Kondisi tersebut disebabkan munculnya beberapa gejala utama seperti tekanan darah maupun gula darah yang tinggi.
Menurutnya, para ahli dari berbagai organisasi internasional sebenarnya memiliki kriteria yang berbeda mengenai faktor sindrom metabolik. Namun, perbedaan kriteria tersebut tetap mengacu pada satu faktor utama, yaitu lingkar pinggang berlebih.
“Jadi risikonya, penyakit jantung, memang para ahli itu membuat kriteria yang berbeda-beda tetapi hampir sama isinya, pokoknya ada lingkar pinggangnya,” ujar Gaga.
Obesitas masalah serius
Ia juga mengaku obesitas tetap menjadi masalah yang cukup serius bagi masyarakat Indonesia. Pasalnya, dalam beberapa tahun terakhir indeks massa tubuh atau berat badan masyarakat naik hingga tiga kali lipat. Peningkatan tersebut mencatatkan jumlah orang dewasa di Indonesia yang mengalami obesitas mencapai 35 persen sehingga dapat disimpulkan satu dari tiga orang dewasa di Indonesia mengalami obesitas.
Dengan demikian, stroke dan jantung koroner adalah penyakit yang harus mendapat perhatian lebih saat ini. Pasalnya, dua penyakit tersebut adalah penyebab kematian utama di Indonesia. Stroke maupun penyakit jantung koroner saat ini menempati peringkat pertama dan kedua penyebab kematian paling banyak di Indonesia.
Kekhawatiran juga muncul karena penyakit tersebut mulai sering ditemukan pada orang-orang dengan rentang usia 40-50 tahun. Gaga menjelaskan, sebenarnya hanya sekitar 13 persen orang yang memiliki penyakit sindrom metabolik tanpa obesitas. Namun, kategori tersebut justru memiliki tingkat mortalitas atau kematian yang paling tinggi.
“Jadi, orang yang kurus dan punya kelainan metabolik itu lebih berisiko mengalami penyakit kronis dan menyebabkan kematian dibanding yang obesitas,” ungkapnya.
Gaga juga menganjurkan masyarakat melakukan deteksi mandiri terkait gejala yang meningkatkan risiko penyakit jantung, mulai dari mengecek lingkar pinggang di rumah, rajin memantau berat badan, hingga rutin mengecek tekanan darah.
Pilihan Editor: Dokter Sebut Kaitan Kurang Tidur dan Risiko Obesitas