TEMPO.CO, Jakarta – Kecerdasan buatan (AI) yang lahir di era revolusi industri 5.0 akan berpotensi menggantikan manusia dalam hal tertentu. Untuk menghadapi tantangan itu, maka tiga kodrat manusia harus tetap dijaga, salah satunya yaitu imajinasi, kata psikolog Novi Poespita Candra.
Psikolog dari Universitas Gadjah Mada itu pun mengimbau orang tua dan guru untuk selalu memberikan ruang imajinasi kepada anak-anak sehingga kemampuan berpikir tingkat lanjut (advanced thinking) terlatih dengan baik.
“Imajinasi itu diciptakan dalam ruang-ruang kreatif. Bahkan, seorang anak bisa mengimajinasikan sesuatu yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Dan AI belum punya kemampuan itu dan akan sulit punya kemampuan imajinasi itu,” katanya, Jumat, 8 November 2024.
Namun, masalah imajinasi tersebut saat ini seolah-olah ditumpulkan dengan standar-standar tertentu di dalam sistem pendidikan. Banyak orang masih beranggapan aktivitas belajar berarti harus mengerjakan tugas sekolah dan keharusan-keharusan lain.
Orang tua juga kerap mengidealkan standar tertentu kepada anak. Misalnya berekspektasi pada anak pekerjaan yang ideal di masa depan yaitu dokter atau posisi yang dianggap bergengsi lainnya. Padahal, bisa saja anak memiliki imajinasi lain tentang masa depan yang sebelumnya tidak dibayangkan orang tua.
Bangun budaya bertanya
Selain imajinasi, Novi mengingatkan orang tua maupun orang dewasa di lingkungan sekitar untuk tidak membunuh rasa ingin tahu anak. Dengan begitu, anak akan membangun budaya atau kebiasaan untuk berani mengajukan dan menjawab pertanyaan.
Ia mengatakan bertanya menjadi mesin utama bagi manusia untuk terus belajar ketika mereka dibiarkan untuk memiliki rasa ingin tahu. Akan tetapi, banyak penelitian saat ini yang menemukan sistem pendidikan di Indonesia perlahan-lahan berpotensi membunuh rasa ingin tahu anak di samping membunuh imajinasi anak.
Tak hanya soal imajinasi dan rasa ingin tahu, Novi menyebutkan keberagaman menjadi kodrat manusia yang juga perlu dijaga. Ia mengingatkan manusia pada dasarnya akan menemukan potensi terbaiknya apabila tidak ada keseragaman.
Belajar dari negara-negara maju, sistem pendidikan di negara lain justru lebih banyak membuka ruang dialog sehingga guru memiliki kesempatan untuk mengenali setiap anak dengan berbeda. Melalui dialog maka kesadaran diri dan potensi terbaik pada anak akan muncul.
“Kecerdasan tinggi milik manusia seperti creative thinking, critical thinking, dan analytical thinking itu akan muncul kalau kodrat manusia dikembangkan. Ketika tiga kodrat manusia itu tidak pernah dikembangkan maka jangan harap advance thinking system-nya bakal terlatih dengan baik,” tandasnya.
Pilihan Editor: Tanda Awal Disleksia yang Bisa Dikenali pada Anak