Dunia

Efek Trump pada Kebijakan Moneter BI

6
×

Efek Trump pada Kebijakan Moneter BI

Share this article


PASAR finansial lagi-lagi harus mengantisipasi periode penuh gejolak setelah Donald Trump kembali menjadi Presiden Amerika Serikat. Besar kemungkinan Trump akan menjalankan kebijakan yang kurang menguntungkan atau membuat panas pasar keuangan.

Satu contoh saja, Trump menjanjikan kebijakan proteksionis berupa kenaikan tarif impor secara agresif. Dalam jangka menengah-panjang, tingkat inflasi Amerika Serikat akan kembali menanjak dan mendorong kenaikan suku bunga. Gelagat itu sudah tecermin pada kenaikan yield atau imbal hasil obligasi jangka panjang terbitan pemerintah Amerika. Dampaknya pada Indonesia: penguatan dolar Amerika cenderung berlanjut dan kurs rupiah merosot.

Gejolak pasar bakal makin kuat karena ada risiko eskalasi konflik antara Presiden Amerika Serikat dan Ketua The Federal Reserve Jerome Powell tatkala Trump sudah mengambil alih tampuk pemerintahan, Januari 2025. Sudah bukan rahasia lagi, Trump sangat tidak menyukai Powell. Trump bahkan pernah menyatakan dengan terang-terangan bahwa seharusnya Powell menimbang pandangan Presiden Amerika sebelum mengambil kebijakan.

Pernyataan Trump itu sudah melampaui batas. Independensi The Fed selama ini merupakan jangkar utama kepercayaan pasar global terhadap dolar Amerika. Powell sepertinya akan menjadi lawan tangguh bagi Trump. Dalam konferensi pers pekan lalu, Powell dengan tegas mengatakan, “No.” Dia tidak akan mundur meski Trump memecatnya. Secara hukum, menurut Powell, pemecatan itu ilegal.

Pasar sebetulnya juga sudah menghitung kemungkinan timbulnya kekacauan yang bisa menggoyahkan stabilitas sistem keuangan global itu. Lihat saja bagaimana harga emas yang terus menanjak mencapai rekor demi rekor tertinggi. Terakhir, Oktober 2024, harganya US$ 2.790 per ons troi. Demikian pula kurs mata uang kripto Bitcoin yang sempat menyentuh titik tertinggi sepanjang sejarah, US$ 77.475, Rabu, 6 November 2024. Investor memakai Bitcoin dan emas sebagai instrumen hedging atau pelindung nilai ketika ada gejolak yang berisiko menjatuhkan dolar Amerika Serikat.

Meskipun demikian, baik pasar maupun bank sentral di seluruh dunia tentu ingin melihat meledaknya konflik antara Presiden Amerika Serikat dan Ketua The Fed. Suka tak suka, seluruh ekonomi di planet bumi masih harus menerima kenyataan takluk kepada dominasi dolar Amerika yang sampai saat ini masih menjadi medium utama alat pembayaran transaksi perdagangan internasional. Bank-bank sentral di seluruh dunia pun masih menyimpan cadangan devisanya dalam dolar Amerika. Sengketa hukum dan politik yang melibatkan dua figur terpenting di Amerika itu berisiko menggoyahkan stabilitas sistem keuangan global, bahkan menimbulkan kiamat finansial. 

Di tengah situasi yang makin kalang kabut itulah Bank Indonesia harus menentukan kebijakan moneter. Tentu saja salah satu tujuan utama kebijakan itu adalah menjaga stabilitas kurs rupiah. Yang paling dekat, pada 20 November 2024, ada sidang Dewan Gubernur BI untuk menentukan tingkat suku bunga rujukan atau BI Rate.

BI punya beberapa alasan kuat untuk menurunkan BI Rate. Salah satunya, The Fed sudah menurunkan bunga rujukan pekan lalu sebesar 250 basis point atau 0,25 persen. Data domestik juga mendukung. Tingkat inflasi tahunan saat ini sangat rendah, hanya 1,71 persen pada Oktober 2024, jauh di bawah target BI yang sebesar 2,5 persen plus-minus 1 persen. 

Per Oktober 2024, secara tahunan, ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,8 persen, terpaut amat jauh dari 5,2 persen target pemerintah. Penurunan BI Rate bisa menjadi salah satu solusi untuk mendorong ekonomi agar bergerak lebih cepat. Bunga yang lebih murah akan menurunkan ongkos kredit. Daya beli masyarakat, terutama kelas menengah-bawah, pun bisa terangkat.

Namun gejolak pasar global itu tentu juga menghantui keputusan BI. Ada risiko besar. Turunnya BI Rate mendorong pelarian modal ke luar negeri lebih kencang. Lihat saja, meski bunga The Fed turun pekan lalu, rupiah tak menguat signifikan. Sedangkan tingkat keyakinan investor global kepada Indonesia belakangan ini cenderung menurun. Kebijakan pemerintah Prabowo Subianto belum mengarah pada perbaikan manajemen ekonomi makro menjadi lebih pruden.

BI kini punya pilihan sulit: mendorong pertumbuhan ekonomi atau menjaga stabilitas rupiah. Apa pun pilihannya, sama-sama ada dampak buruknya bagi ekonomi Indonesia.



Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *