Liputan6.com, Jakarta Sejak diperkenalkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, Kurikulum Merdeka Belajar telah menjadi sorotan utama dalam dunia pendidikan Indonesia. Program yang diharapkan mampu mengatasi ketertinggalan dan meningkatkan kualitas pendidikan ini justru menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Beberapa pihak memandangnya sebagai terobosan penting, namun tidak sedikit yang menganggap program ini terlalu ambisius dan kurang relevan di berbagai daerah.
Kurikulum Merdeka Belajar awalnya diperkenalkan sebagai respons terhadap tantangan pandemi Covid-19. Kurikulum ini bertujuan untuk memberikan fleksibilitas bagi sekolah dalam menentukan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan kondisi lokal. Namun, penerapan kurikulum baru ini mengundang polemik, terutama terkait kesiapan guru, infrastruktur pendidikan, dan ketimpangan kualitas antara wilayah perkotaan dan pedesaan.
Di masa kepemimpinan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah yang baru, Abdul Mu’ti, kebijakan ini kembali menjadi perhatian. Abdul Mu’ti menyatakan bahwa pihaknya akan melakukan kajian ulang terhadap implementasi Kurikulum Merdeka Belajar, mengingat banyaknya masukan dan keluhan yang diterima terkait kebijakan tersebut.