Dunia

Kursi Sofa Tuan Bokalince | tempo.co

4
×

Kursi Sofa Tuan Bokalince | tempo.co

Share this article


SEPULUH tahun yang lalu, Tuan Bokalince memesan kursi sofa berwarna cokelat di sebuah toko furnitur paling klasik di pusat kota. Tak banyak orang kaya yang sanggup memesan kursi sofa serupa model kursi sofa Tuan Bokalince. Paling wali kota dan ketua dewan kota yang mungkin sanggup memesan. Bukan perkara harga semata, melainkan karena ukuran kursi sofa itu sendiri yang tidak biasa. Sehingga kalaupun seseorang mampu membeli, belum tentu kursi sofa itu berhasil diletakkan di rumah si pembeli.

Kursi sofa itu sengaja Tuan Bokalince pesan untuk menggantikan kursi sofanya yang sudah tidak asyik lagi disebutkan harganya bila seseorang bertanya, “Berapakah dulu Tuan membeli kursi sofa ini?”. Demi menghindari pertanyaan yang akan membuat telinga dan hati Tuan Bokalince sakit, ia pun memesan sebuah kursi sofa baru dengan ukuran yang tidak biasa.  

Sebagai orang paling kaya di kota itu, memiliki kursi sofa yang supermahal dan besar sesungguhnya sebuah keniscayaan bagi Tuan Bokalince. Apalagi tamu-tamu dari pusat yang sering berkunjung ke rumah Tuan Bokalince adalah tamu-tamu agung yang berperan penting dalam gurita bisnisnya. Harga diri serta wibawa Tuan Bokalince pastilah hancur jika tamu-tamu itu bergosip perihal kursi sofanya yang tidak lagi update dan mahal harganya. 

Begitu tabiat Tuan Bokalince. Ia tipikal orang yang tidak pernah bisa disenggol harga dirinya. Sekali seseorang coba menyenggol harga diri Tuan Bokalince, alamat orang itu akan menjadi musuh yang harus segera dihancurkan.  

Di mata Tuan Bokalince semua orang menjadi rendah dan bisa dibeli. Pandangan itu selalu ia bawa dan pakai ke mana ia pergi. Tak satu pun orang dalam hidup Tuan Bokalince dapat mengubah hal itu, bahkan istrinya sendiri. Ia sebenar teguh pada prinsip hidupnya, kecuali kepada orang-orang yang punya kuasa, Tuan Bokalince agak melonggar. Namun bukan berarti benar-benar longgar sehingga orang yang punya kuasa bisa coba-coba mengakalinya. 

Sepanjang karier Tuan Bokalince membangun bisnisnya, tak pernah seorang pun yang punya kuasa berhasil menyusahkan rencana-rencananya. Semua tunduk dan patuh pada lembar-lembar kertas milik Tuan Bokalince yang tak terhitung lagi oleh kalkulator biasa. Ia juga serupa belut yang sulit dipegang, apalagi ditangkap. Dengan kekuatan uang kertasnya yang sungguh tak terbatas itu, semua mampu Tuan Bokalince beli. Bahkan sebuah kebijakan atau peraturan pemerintah yang merugikan bisnisnya, sekejap mampu ia ubah sekena hati.  

Pernah suatu kali pada periode wali kota sebelumnya, bisnis Tuan Bokalince dipaksa tutup karena disinyalir melakukan penggelapan pajak. Tuan Bokalince yang sedang melakukan peresmian sebuah rumah ibadah marah bukan kepalang. Potong pita yang seyogianya akan dilakukan, terpaksa ditunda karena Tuan Bokalince langsung meninggalkan lokasi dan terbang ke Ibu Kota menjumpai kepala negara. 

“Selamat datang, Tuan Bokalince,” sapa kepala negara kepada Tuan Bokalince yang wajahnya masih terlihat kesal.

“Selamat malam, Pak. Maaf malam-malam mengganggu Bapak,” balas Tuan Bokalince.

“O, tidak Tuan Bokalince, jangan sungkan seperti itu, dong! Saya jadi tidak enak hati dengan Tuan. Pintu istana ini selalu terbuka kok untuk Tuan; kapan saja Tuan ingin datang.”

“Baiklah, saya ingin besok pagi wali kota itu sudah tidak ada lagi di kota saya,” tegas Tuan Bokalince bersuara. Kepala negara yang sudah tahu tabiat Tuan Bokalince hanya mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju.

Keesokan hari, sang wali kota sudah menghilang. Terdengar kabar kalau wali kota itu diamankan ke sebuah tempat. Jika amarah Tuan Bokalince telah susut, tentu sang wali kota akan diberi jabatan lain dari kepala negara. 

Membicarakan sepak terjang Tuan Bokalince tak ubahnya seperti membicarakan kota tempat Tuan Bokalince bermukim. Bagaimana tidak, Tuan Bokalince adalah orang pertama yang membangun rumah di sana. Saat kota masih dipenuhi rimbun pohon dan ilalang, Tuan Bokalince sudah mulai membangun dan mendirikan banyak bangunan serta fasilitas publik. Lambat laun daerah itu pun berubah menjadi sebuah kota yang megah nan indah. Semua hal yang berbau modern dari kota-kota besar di belahan bumi yang lain berhasil pula ia hadirkan di kota itu.  

Jalan layang tingkat bertingkat, serta sistem transportasi yang mutakhir sudah ada di kota Tuan Bokalince sebelum kota-kota tetangga di negerinya mulai membangun. Taman-taman kota yang indah, gedung-gedung pencakar langit, bandar udara yang megah, gedung-gedung pertunjukan yang supercanggih serta mewah sudah lama berdiri di kota Tuan Bokalince. Kesudahannya, orang-orang pusat yang  berkuasa mau tidak mau terpaksa harus hormat dan tunduk pada setiap keinginan Tuan Bokalince.

SEPULUH tahun sudah kursi sofa berwarna cokelat itu menjadi saksi sunyi ruang depan salah satu rumah mewah Tuan Bokalince. Namun sungguh sayang, sejak kursi sofa itu ia beli, tak sekali pun Tuan Bokalince menggunakannya untuk menjamu tamu-tamu agung yang sebelumnya sering berkunjung ke rumah mewahnya. Bahkan Tuan Bokalince pun belum sempat mencoba kursi sofanya sendiri. Kejanggalan itu sungguh telah menjadi bisik-bisik asisten rumah tangga Tuan Bokalince. Rumah yang dulu sering dikunjungi, mendadak sepi setelah kursi sofa itu hadir. Padahal, kalau dibandingkan dengan kursi sofa Tuan Bokalince yang lama, berkali-kali lipat perbedaan harganya, pun ukurannya. 

Tapi tunggu dulu! Jangan Anda kira pamor serta bisnis Tuan Bokalince hancur sehingga ia mulai dilupakan atau ditinggalkan oleh orang-orang yang punya kuasa. Sungguh itu kesimpulan yang buru-buru dan cenderung keliru. Kenyataannya, malah kebalikan. 

Sejak kursi sofa berwarna cokelat hadir di rumah Tuan Bokalince, kesibukan Tuan Bokalince menjadi semakin tiada dua-tiada tara. Siang maupun malam dalam hidup Tuan Bokalince menjadi sulit dibedakan. Semua tampak sama-sama terang di mata Tuan Bokalince. Itu tak lain karena bisnis Tuan Bokalince mendadak semakin menggurita dan mendunia. Bidang-bidang bisnis Tuan Bokalince bergerak melaju semakin kencang menggilas waktu pagi, petang, dan malam Tuan Bokalince. Hingga akhirnya waktu sepuluh tahun—sejak kehadiran kursi sofa itu—benar-benar terlewati begitu saja. 

Suatu pagi, ketika para asisten rumah tangga Tuan Bokalince sedang sibuk dengan pekerjaan mereka, seorang tamu istimewa yang waktunya sudah dijanjikan sebelumnya datang ke rumah Tuan Bokalince. Tamu istimewa itu berwajah putih cerah, bergingsul rapi, dan tersenyum ramah-cemerlang. Tuan Bokalince—yang pagi itu entah kenapa terbangun lebih lama dari biasanya, mendadak ingin mencoba kursi sofanya yang sudah sepuluh tahun belum pernah ia pakai untuk duduk—terpaku dan tak dapat berbicara saking terkejutnya saat tamu istimewa itu begitu saja menyelonong masuk ke ruang depan rumahnya. Kaki Tuan Bokalince seketika gemetar seperti mesin tua yang dipaksa bekerja. 

Sebenarnya Tuan Bokalince ingin menghindar dari tamu istimewa itu. Ia sudah punya janji dengan salah seorang tokoh dari pusat membicarakan bisnis baru yang ia rintis beberapa bulan terakhir. Tetapi mendadak tubuhnya terasa berat untuk digerakkan—keringat dingin mengucur deras dari dahinya yang mulai keriput. 

Peristiwa itu berlangsung beberapa saat hingga akhirnya tubuh Tuan Bokalince roboh ke kursi sofa cokelat yang tak pernah ia coba sama sekali sebelumnya. Tiada luka sedikit pun yang menyebabkan ia roboh. Hanya tubuhnya yang mendadak tak berdaya, tak bertenaga. 

Sang tamu istimewa semakin mendekat. Ia amati setiap inci tubuh Tuan Bokalince (seperti sedang mencari sebuah celah di tubuh Tuan Bokalince) yang semakin tahun semakin membengkak. Lalu kemudian tersenyum dan berbisik di telinga Tuan Bokalince, “Waktu Tuan telah tiba!”

“Tapi aku belum siap!”

“Semua sememang tak pernah siap.”

“Tolong, jangan sekarang! Kamu minta berapa? Sebutkan saja!”

Tamu istimewa itu kembali tersenyum dan tanpa Tuan Bokalince sadar, sesuatu yang paling berharga pada diri Tuan Bokalince sudah berhasil tamu itu ambil.

Tubuh Tuan Bokalince kesudahannya benar-benar menjadi dingin—kaku. Kursi sofa seharga nyaris seperempat persen anggaran sebuah kota itu pun akhirnya memeluk tubuh Tuan Bokalince bersama tamu istimewa yang pagi itu turun dari langit dengan sepasang sayap di punggungnya. Sayap yang berwarna putih namun tampak menyeramkan bagi siapa pun yang belum siap melihatnya.

Tidak ada seorang pun yang melihat peristiwa itu. Sungguh tak ada yang tahu, kecuali kursi sofa berwarna cokelat itu sendiri!

Ilham Wahyudi, penulis yang lahir di Medan, Sumatera Utara. Cerpen-cerpennya tersiar di sejumlah media massa.



Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *