TEMPO.CO, Jakarta – Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK Praswad Nugraha mengapresiasi keberhasilan KPK membekuk jajaran pejabat Pemerintahan Provinsi atau Pemprov Bengkulu lewat Operasi Tangkap Tangan atau OTT. Praswad mengatakan sepanjang sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia, tidak ada satupun metode yang paling efektif selain operasi ini.
Tidak hanya itu, kata Praswad, bahkan di antara seluruh anti corruption agency di dunia, KPK merupakan lembaga pertama yang menggunakan metodologi tertangkap tangan dalam penanganan perkara white collar crime. Menurut dia, hal ini semestinya membuat bangga, bukan malah menghapus metode OTT KPK.
“Hal ini harus membuat kita sebagai bangsa dan negara bangga, bukannya malah berlomba-lomba untuk membunuh metode OTT dan memberangus KPK secara kelembagaan,” kata pengajar Hukum Pidana Universitas Tarumanegara ini melalui keterangan tertulis, Senin, 25 November 2024.
Pernyataan Praswad soal OTT itu menyindir wacana Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, yang mengaku akan menghapus metode tersebut saat ditanyai dalam uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK periode 2024-2029. Praswad mengapresiasi Kedeputian Penindakan KPK masih tetap gencar melakukan operasi ini, kendati ada pimpinan yang anti OTT.
“Pertama, harus diberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada jajaran di Kedeputian Penindakan KPK, yang meskipun Johanis Tanak dalam forum wawancara seleksi Pimpinan KPK kemaren di Komisi III (DPR) bersikap Anti OTT,” kata Pakar Antikorupsi ini.
Diketahui, KPK menggelar OTT di lingkungan Pemprov Bengkulu pada Sabtu malam, 23 November 2024, pukul 21.00 WIB. Ada delapan orang yang tertangkap dalam operasi sidak ini. Tiga di antaranya yakni Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah (RM); Sekretaris Daerah Bengkulu, Isnan Fajri (IF); dan Ajudan Gubernur, Evriansyah (E), ditetapkan sebagai tersangka.
Mereka diduga terlibat dalam perkara tindak pidana korupsi berupa pemerasan terhadap sejumlah kepala dinas di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi Bengkulu oleh Gubernur Bengkulu. Rohidin diduga memaksa para kepala dinas agar mengumpulkan uang yang dipergunakan sebagai dana pencalonan dirinya di ajang pemilihan kepala daerah atau Pilkada serentak.
“Dalam kontruksi perkaranya, diduga bahwa pada Juli 2024, RM menyampaikan membutuhkan dukungan berupa dana,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada Ahad, 24 November 2024.
Menurut Praswad, korupsi menjelang pilkada merupakan rasuah pada level yang tertinggi, korupsi yang membunuh demokrasi. Uang-uang hasil iuran dari perangkat daerah yang selanjutnya digunakan untuk membeli suara rakyat bagi calon tertentu, tidak hanya merugikan keuangan negara, namun juga mematikan aspirasi dan memanipulasi hasil pemilu dengan cara yang keji.
Terlebih lagi, kata Praswad, tindakan ini atas perintah pemimpin daerah yang notabene pemegang amanat tertinggi untuk menjaga demokrasi yang sehat. Menurut dia, KPK harus mengurai kejahatan ini setuntas-tuntasnya sebagai pesan kepada seluruh kontestan Pilkada yang akan bertarung tiga hari lagi, bahwa menggunakan money politik adalah tindakan koruptif.
Namun, menurut Praswad, yang paling krusial dalam pelaksanaan OTT adalah paska kondisi penangkapan. Relisiko banyaknya intervensi secara politik maupun kekuatan oligarki yang akan mencoba mengganggu KPK baik melalui kesepakatan di ruang-ruang gelap maupun secara prosedural, menggunakan pendekatan jalur praperadilan untuk mengganggu proses pemberantasan korupsi.
“Pada tahapan ini diperlukan keberpihakan dari kita semua, segenap kekuatan bangsa dan negara, terutama Presiden Republik Indonesia untuk sama-sama menjaga dan menguatkan KPK agar bisa terus bekerja efektif melaksanakan OTT di seluruh indonesia tanpa khawatir diserang balik oleh para koruptor dan oligarki,” Praswad Nugraha.
Sebelumnya, ketiga tersangka akan ditahan di rumah tahanan (rutan) cabang KPK selama 20 hari ke depan sejak 24 November 2024 sampai dengan 13 Desember 2024. Para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan pada Pasal 12 huruf e dan Pasal 12B Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 KUHP.
Penyidik KPK dalam OTT di Pemprov Bengkulu juga menyita sejumlah barang bukti seperti uang tunai sekitar Rp 7 miliar dalam mata uang Rupiah, Dollar Amerika (USD), dan Dollar Singapura (SGD) dari hasil pemerasan yang dilakukan Gubernur Bengkulu. Selain dukungan dana, Rohidin juga menyampaikan kebutuhannya untuk penanggung jawab wilayah dalam rangka Pilgub Bengkulu 2024.
Alex, sapaan Alexander Marwata, menyatakan dalam kasus ini Isnan Fajri berperan mengumpulkan seluruh ketua OPD dan Kepala Biro di lingkup Pemda Bengkulu pada September–Oktober 2024. Dalam pertemuan itu, Isnan menyampaikan pesan Rohidin untuk mendukungnya dalam Pilkada.
Kemudian, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Pemprov Bengkulu, Syafriandi (S) menyerahkan uang Rp 200 juta kepada Rohidin melalui Evriansyah dengan maksud agar dirinya tidak dinonjobkan sebagai Kepala Dinas. Sedangkan Kepala Dinas PUPR Pemprov Bengkulu, Tejo Suroso (TS) mengumpulkan uang Rp 500 juta dari potongan anggaran alat tulis kantor, potongan Surat Perintah Perjalanan Dinas, dan potongan tunjangan pegawai.
“RM pernah mengingatkan TS, yakni apabila RM tidak terpilih lagi menjadi Gubernur, maka TS akan diganti,” ujar Alex.
Kepala Dinas Pendidikan Pemprov Bengkulu, Saidirman (SD) pun turut mengumpulkan uang sejumlah Rp 2,9 miliar. Dia diminta Gubernur Bengkulu untuk mencairkan honor PTT (Pegawai Tidak Tetap) dan GTT (Guru Tidak Tetap) se-provinsi Bengkulu sebelum 27 November 2024. Jumlah honor per-orang adalah Rp 1 Juta.
Pada Oktober 2024, Karo Kesra Pemprov Bengkulu, Ferry Ernez Parera (FEP) ikut menyerahkan setoran donasi dari masing-masing satuan kerja atau satker di dalam tim pemenangan Kota Bengkulu kepada RM melalui EV sejumlah Rp 1.405.750.000.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | MUTIA YUANTISYA