TEMPO.CO, Jakarta – Aturan baru mengenai pemberian subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) saat ini tengah dipersiapkan oleh Presiden RI ke-8, Prabowo Subianto. Prabowo bahkan menyiapkan Tim Khusus Subsidi untuk mencari bentuk subsidi yang tepat sasaran. Tim Khusus Subsidi dipimpin oleh Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia.
1. Usulan Penasihat Khusus Prabowo
Penasihat Khusus Presiden Urusan Ekonomi, Bambang Brodjonegoro, mengusulkan adanya perubahan skema subsidi BBM tersebut menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT). Bambang menilai hal ini perlu dilakukan karena perubahan skema subsidi BBM saat ini tidak lagi efektif, bahkan cenderung kurang tepat sasaran.
“Subsidi BBM itu basisnya harga. Jadi cuma membedakan antara berapa biaya produksi dengan harga jual. Nah, ketika harga jualnya di bawah biaya produksi, maka pemerintah harus subsidi. Memang sudah ditentukan hanya Pertalite, tapi kan problemnya adalah salah sasaran,” kata Bambang saat konferensi pers Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2024 di Jakarta, Senin, 4 November 2024.
Lebih lanjut, Penasihat Khusus Presiden ini menjelaskan mengenai akurasi data penerima BLT. Ia mengatakan bahwa sebenarnya pemerintah tidak bisa menjamin tingkat akurasi data penerima 100 persen akurat. Akan tetapi, skema BLT memiliki tingkat akurasi data yang jauh lebih tinggi daripada subsidi BBM saat ini.
Melalui konferensi pers itu, Bambang juga mengatakan kepada awak media bahwa masyarakat tidak perlu khawatir dengan risiko daya beli masyarakat yang akan menurun. Ia menilai bantuan langsung (BLT) dari pemerintah ini mampu menjaga daya beli masyarakat agar tidak terganggu sehingga meminimalkan risiko terjadinya inflasi.
“Jadi bantuan langsung itu diberikan sebagai upaya untuk menjaga agar daya beli tidak terganggu oleh adanya kenaikan harga. Itu esensi dari perubahan subsidi harga menjadi bantuan tepat sasaran,” kata Bambang.
Kemudian, dirinya juga mengatakan bahwa reformasi subsidi BBM juga bisa menjadi salah satu strategi pemerintah untuk mempercepat transisi menuju energi baru terbarukan (EBT).
Menteri ESDM Bahlil menjelaskan lebih lanjut bahwa opsi yang tersedia saat ini lebih mengerucut pada skema BLT, serta mempertimbangkan untuk tidak mencabut subsidi bagi kendaraan umum dengan plat kuning. Bahlil menilai bahwa pembatasan BBM bersubsidi muncul karena banyak subsidi BBM yang tidak tepat sasaran.
“BLT-nya salah satu opsi dan akan diputuskan nanti pada hari yang tepat, dan opsinya saya pikir lebih mengerucut ke sana,” kata Bahlil. Menteri ESDM ini juga menambahkan bahwa pendataan untuk penerima subsidi tepat sasaran, ditargetkan rampung paling lambat kuartal pertama tahun 2025.
Politikus dari Partai Golkar ini pun menambahkan bahwa pergantian model subsidi menjadi BLT pun masih menjadi kajian internal kementerian. Oleh sebab itu, belum ada keputusan final yang bisa diberikannya terkait wacana tersebut.
4. Subsidi Tak Tepat Sasaran
Sebelumnya, Bahlil mengungkapkan bahwa nilai subsidi energi yang berpotensi tidak tepat sasaran mencapai Rp 100 triliun. Nilai ini didapatkan dari total alokasi subsidi dan kompensasi energi tahun ini yang sebesar Rp 435 triliun.
“Jujur saya katakan ya, kurang lebih sekitar 20-30 persen subsidi BBM dan listrik itu berpotensi tidak tepat sasaran, dan itu gede angkanya, kurang lebih Rp100 triliun,” ujar Bahlil.
Selain itu, Kementerian ESDM juga mengatakan bahwa pihaknya menemukan potensi penyaluran subsidi energi yang tidak tepat sasaran tersebut dari berbagai laporan PLN, Pertamina dan BPH Migas.
“Nah, kami menengarai dalam berbagai laporan yang masuk, baik PLN, Pertamina, maupun BPH Migas, dari subsidi BBM dan listrik itu kami melihat ada potensi yang tidak tepat sasaran,” tambahnya.
HAURA HAMIDAH I A VEDRO IMANUEL G