SEGEL bertulisan “Dalam Pengawasan KPK” terlihat menempel pada pintu kaca di ruang kerja Gubernur dan Sekretaris Daerah Provinsi Bengkulu pada Senin, 25 November 2024. Segel itu dipasang dua hari setelah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi menggelar operasi tangkap tangan (OTT) di kantor Pemerintah Provinsi Bengkulu.
Dari delapan orang yang terjaring OTT, penyidik komisi antirasuah telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka. Mereka adalah Gubernur Rohidin Mersyah, Sekretaris Daerah Isnan Fajri, dan ajudan gubernur Evriansyah alias Anca.
Rohidin diduga memeras pegawai di lingkungan Pemerintah Provinsi Bengkulu untuk membiayai pencalonannya dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Uang hasil pemerasan itu diperkirakan mencapai Rp 7 miliar. Diduga uang ini disiapkan untuk “serangan fajar” menjelang pemungutan suara yang akan digelar pada 27 November 2024.
Dugaan itu muncul setelah penyidik menyita amplop berlogo pasangan Rohidin Mersyah-Meriani yang merupakan calon inkumben dalam pilkada 2024. “Dari keterangan saksi, isi amplop Rp 50 ribu, tapi belum dicek secara fisik,” kata juru bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto. Menurut dia, penyidik masih menghitung jumlah uang yang disiapkan untuk “serangan fajar” tersebut. “Nanti kalau sudah ada update, dikabari.”
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata (tengah) didampingi Direktur Penyidikan Brigadir Jenderal Asep Guntur Rahayu (kiri) dan juru bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto (kanan), saat rilis OTT Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah, ajudan Gubernur Bengkulu Evriansyah, serta Sekda Provinsi Bengkulu Isnan Fajri di gedung KPK, Jakarta, 25 November 2024. TEMPO/Ilham Balindra
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan OTT itu bermula dari informasi rencana transaksi yang akan dilakukan oleh Isnan Fajri dan Evriansyah. Transaksi itu akan dilaksanakan pada 22 November 2024. Penyidik KPK segera berangkat ke Bengkulu dan menggelar OTT pada 23 November 2024.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, pada Juli 2024, diketahui Rohidin memanggil sejumlah bawahannya dan meminta dukungan pendanaan untuk kepentingannya dalam pilkada 2024. Isnan Fajri kemudian ditunjuk sebagai orang yang mengumpulkan uang saweran dari para pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi Bengkulu. Pengumpulan dana ini berlangsung pada September hingga Oktober 2024.
Menurut Alex, para pejabat Pemerintah Provinsi Bengkulu tidak berani menolak permintaan itu. Mereka diancam akan kehilangan jabatan bila permintaan tersebut tidak dipenuhi. “Sf (Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Pemprov Bengkulu Syafriandi) menyerahkan uang Rp 200 juta karena tidak ingin dicopot sebagai kepala dinas,” kata Alex.
Begitu juga dengan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Tejo Suroso. Ia mengumpulkan uang Rp 500 juta yang berasal dari potongan anggaran alat tulis kantor, potongan surat perintah perjalanan dinas, dan potongan tunjangan pegawai.
Kepala Dinas Pendidikan Saidirman menyerahkan Rp 2,9 miliar sebelum 27 November 2024. Uang itu berasal dari honor pegawai tidak tetap dan guru tidak tetap se-Provinsi Bengkulu. Setiap honor pegawai itu dipotong Rp 1 juta. Adapun Kepala Biro Kesejahteraan Rakyat Ferry Ernez Parera menyetor uang Rp 1,4 miliar. Uang itu berasal dari donasi satuan kerja di bawah Biro Kesejahteraan Rakyat.
Sementara itu, Evriansyah, ajudan Rohidin, berperan sebagai penjemput dana. Dia mengumpulkan uang dari para pejabat tersebut untuk selanjutnya diserahkan kepada Rohidin.
Penyidik KPK telah menyita sejumlah barang bukti berupa uang tunai serta catatan penerimaan dan penyaluran uang. Di antaranya uang tunai senilai Rp 32,5 juta dari mobil Saidirman dan Rp 120 juta dari rumah Ferry Ernez Parera. Di rumah Ferry, penyidik juga menemukan catatan penerimaan dan penyaluran uang.
Kemudian di mobil dan rumah Rohidin Mersyah ditemukan uang tunai sebesar Rp 370 juta serta catatan penerimaan dan penyaluran uang. Selain itu, terdapat mata uang asing dolar Amerika Serikat dan dolar Singapura yang nilainya mencapai Rp 6,5 miliar. “Jadi total uang yang disita dari operasi tangkap tangan ini sekitar Rp 7 miliar,” kata Alex.
Peneliti dari Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman, mengatakan peristiwa di Bengkulu ini menunjukkan OTT masih sangat relevan untuk mengungkap praktik korupsi. “OTT ini sangat penting untuk menanggulangi tindak pidana korupsi dalam bentuk suap,” kata Zaenur.
Menurut Zaenur, praktik suap sangat sulit dibuktikan dengan metode case building atau pembangunan kasus yang didahului penyelidikan hingga ke tahap penyidikan. Sebab, tindakan suap selalu dilakukan di ruang gelap yang hanya diketahui segelintir orang.
Pemberi dan penerima suap, kata Zaenur, benar-benar menjaga kerahasiaan praktik lancung ini. Mereka harus saling melindungi agar tidak terjerat hukum. “Suap tanpa OTT, alat buktinya susah,” kata Zaenur. “Misalnya, bagaimana mencari saksi yang mengetahui transaksi, sedangkan transaksinya hanya melibatkan dua orang. Itu pun biasanya mereka menggunakan kode-kode (rahasia).”
Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah (kiri) tiba setelah terjaring OTT di gedung KPK, Jakarta, 24 November 2024. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Ucapan Zaenur ini sekaligus menyentil pernyataan Wakil Ketua KPK Johanis Tanak. Saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK di Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, Tanak mengatakan bakal menghapus OTT bila terpilih kembali menjadi pemimpin KPK. Alasannya, OTT tidak sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). “Yang diucapkan Johanis Tanak itu tidak lebih dari menjilat Komisi III DPR agar bisa terpilih lagi,” kata Zaenur.
Tanak berpendapat, berdasarkan KUHAP, pengertian tangkap tangan adalah peristiwa penindakan hukum yang pelakunya seketika langsung ditetapkan sebagai tersangka. Sedangkan OTT adalah suatu operasi yang telah dipersiapkan dan direncanakan.
Zaenur mengatakan tidak ada aturan yang dilanggar saat aparat penegak hukum melakukan OTT. Dalam Pasal 1 ayat 19 KUHAP disebutkan bahwa tertangkap tangan adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana. “Kalau OTT ilegal, pasti itu dipersoalkan di praperadilan ataupun di pengadilan pokok perkara,” katanya.
Mantan penyidik KPK, Novel Baswedan, sependapat dengan Zaenur. Ia meminta KPK tetap mempertahankan kegiatan OTT sebagai upaya pemberantasan korupsi. Sebab, dari operasi itu, penyidik bisa mendapatkan alat bukti secara nyata, obyektif, dan tidak terelakkan. “OTT ini sangat penting. Semoga terus dilakukan dalam rangka pemberantasan korupsi yang efektif,” katanya.