DI tengah maraknya permainan papan impor dan board game cafe, sejumlah persoalan masih membelit industri board game lokal. Banyak pemain lama gugur, sementara mereka yang bertahan hanya memproduksi berdasarkan pesanan.
Manikmaya, penerbit board game asal Bandung yang dibentuk pada 2013, dibekukan sejak 2019 oleh perusahaan induknya, Studio Kummara. Menurut Unit Manager & Game Designer Kummara, Isa Rachmad Akbar, mereka baru menerbitkan board game saat ada pesanan dari perusahaan lain lewat kesepakatan business-to-business.
Sementara itu, Mechanimotion Entertainment, penerbit game yang dibentuk pada 2013 di Surabaya, memfokuskan produksi mereka ke dunia pendidikan. “Secara lebih spesifik, board game yang dirancang untuk literasi keuangan,” kata Adhicipta Raharja Wirawan, pengelola Mechanimotion, saat dihubungi Tempo pada Selasa, 12 November 2024.
Dalam merancang permainan papan, mereka melibatkan perencana keuangan bersertifikat untuk mengenalkan pembelajaran finansial bagi pelajar. Pemainnya mulai anak kelas I sekolah dasar yang telah mampu berhitung sederhana. Sebelumnya, mereka membuat game serupa untuk pemain dewasa. “Literasi keuangan dasar kebanyakan orang dewasa kita masih kurang,” ujar Adhi—sapaan Adhicipta Raharja.
Mechanimotion meluncurkan dua produk pada tahun ini. Yang pertama bertema kampanye limbah popok sekali pakai dan dijual sekitar Rp 350 ribu. Adapun judul baru yang akan dirilis memiliki lebih banyak komponen dan bakal dibanderol sekitar Rp 500 ribu.
Adhi meyakini ada celah pasar khusus alias niche market yang bisa dimanfaatkan para pembuat permainan papan Indonesia. Berdasarkan pengalamannya lewat kesuksesan Waroong Wars keluaran 2015, game lokal bisa lebih mudah disukai pemain dibanding game impor. Sebab, mereka menggunakan bahasa Indonesia sehingga memudahkan pemain memahami aturan permainan yang panjang-panjang itu.
Faktor lain adalah kedekatan tema. Waroong Wars, misalnya, bertema pengembangan warung makan dengan menu seperti nasi goreng dan sate ayam.
Cara lain adalah berkolaborasi dengan komikus lokal yang punya banyak penggemar. Untuk genre, mengacu pada kesuksesan game impor, Adhi mengatakan pemain Indonesia relatif menyukai party atau yang bisa dimainkan beramai-ramai. Hal lain yang tak kalah penting, dia melanjutkan, adalah perumusan aturan mainnya mudah dipahami dan harga yang lebih murah dari board game impor, yakni Rp 200-300 ribu.
Pengunjung memainkan board game Waroong Wars di Dice Boardgame & Kitchen, Kelapa Gading, Jakarta, 16 November 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Di Surabaya dan sekitarnya, menurut Adhi, ada tiga pembuat board game komersial. Jumlah keseluruhan se-Indonesia tidak diketahui dengan pasti. Asosiasi Pegiat Industri Board Gim Indonesia (APIBGI) mencatat ada enam penerbit yang tergabung. Di perkumpulan itu juga ada 21 desainer, 5 akademikus, dan 6 komunitas.
Mahawira S. Dillon, Ketua APIBGI, mengatakan Indonesia belum memiliki ekosistem penerbit board game yang bagus. “Kerap menghadapi masalah akses distribusi,” ujar Wira—panggilan Mahawira.
Pasar permainan papan Indonesia bisa dibilang dikuasai importir besar. Mereka mengimpor board game dari Amerika Serikat dan Eropa, lalu menyalurkannya ke kafe-kafe. “Dibikin gampang sistemnya sama mereka,” tutur Wira. Walhasil, board game lokal kalah bersaing.
Kesulitan lain adalah harga board game yang relatif mahal. Di negara dengan rata-rata upah minimum Rp 3,1 juta ini berat untuk bisa membeli satu set board game yang dijual mulai sekitar Rp 300 ribu. Tak mengherankan, penggemar lama ataupun pemain baru memilih datang ke board game cafe. Dengan modal sekitar Rp 50 ribu, di sana mereka bisa puas bermain tanpa batasan waktu dan judul permainan.
Ujung-ujungnya, penjualan produsen lokal seret. “Padahal pendapatan mereka semata dari penjualan,” kata Wira.